|
AGAMA adalah bentuk pengakuan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. Istilah agama diambil dari kata Sankrit, yang tersusun dari kata a (tidak) dan gam (pergi), jadi agama itu tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Memang, agama memiliki sifat dasar yang demikian, begitulah Kata Harun Nasution, ketika mengulas arti agama, dalam bukunya berjudul "Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya". Lantas, mengapa agama harus di buru? Secara artifisial, agama tidaklah pernah pergi. Sebab, jika agama pergi, maka Tuhan juga akan ikut pergi. Maknanya adalah jika agama itu pergi, maka agama dipandang tidak sanggup lagi menghadirkan nilai-nilai kedamaian, kerahmatan serta keadilan bagi manusia. Sebab yang harus di cari adalah "makna" atau "pesan suci" yang terselip dijantung agama itu, barangkali sudah jauh meninggalkan kita yang telah hilang dan tak berfungsi lagi untuk mengontrol kehidupan ini. Sehingga memburu makna agama, seperti yang tanpak pada judul di atas, adalah kewajiban personal yang harus dilaksanakan setiap manusia, untuk menelusuri makna yang sudah menyimpang dari jalurnya. Dalam kajian agama, pasti tidak terlepas dari pembicaraan mengenai Tuhan, manusia, alam; tentang iblis dan malaikat; tentang dosa dan pahala; tentang neraka dan surga; tentang masa kini, masa lalu/lampau, dan masa depan yang tak berujung; tentang yang terpikirkan dan yang tak terpikirkan. Pokok pembicaraan di atas, sudah menjadi kajian sehari-hari, baik perkuliahan di kampus-kampus, ceramah di tempat peribadatan, hingga dakwah kampung dari rumah ke rumah. Adalah Wilfred C. Smith, seorang pakar studi studi agama-agama dunia, beranggapan bahwa memahami sebuah agama (religius) seharusnya memerlukan cara dan konteks baru. Hal ini penting, karena kesadaran manusia selalu mengalami evolusi yang setiap saat bisa berubah. Apalagi perubahan itu kini didorong oleh kemajuan berpikir manusia dan kepesatan sains, teknologi serta informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, pengalaman religius manusia selalu mengalami perubahan. Bahkan, setua usia manusia itu pengalaman religius itu mengalami perubahan. Istilah religius berakar dari kata religi, yang artinya mengumpulkan, membaca. Maksudnya, dengan agama manusia dianjurkan membaca aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan kepadanya. Religi juga punya makna mengikat. Artinya, dengan agama manusia dibatasi dengan norma dan doktrin yang menjadi sumber ajaran kenenaran. Setiap mukmin (orang beriman) memiliki kesadaran dan penghayatan yang berbada-beda sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Bahkan, persepsi berbeda-beda itu bisa muncul dalam satu komunitas keagamaan pada satu masyarakat. Sebab, di satu pihak, kadang-kadang esensi agama hanya menjadi tolak ukur (pandangan) bagi manusia (spektator). Tetapi di lain pihak, agama menjadi bagian intrinsik yang ia lakukan setiap detak nafas manusia (aktor). Sehingga kebenaran (makna) agama terkadang sangat pelik diukur, bahkan ruwet untuk menggambarkan mana yang sesungguhnya paling hakiki itu. Wilfred C. Smith menawarkan solusi bagi umat beragama, yaitu dengan cara memahami dan menambah keyakinan bahwa agama merupakan sumber nilai kebaikan untuk keutuhan hidup dan kehidupan manusia. Berbeda dengan para pengkaji modern, bahwa agama cenderung dipisahkan dari kehidupan nyata (profan). Agama hanya dimaknai sebagai ritual, yang terbatas pada penyembahan secara sempit. Sehingga agama seolah-olah tidak menyentuh kehidupan duniawi. Cara beragama seperti itu, kemudian dibantah oleh Smith, bahwa dengan agama justru menjadi penopang semangat dan sumber inspirasi dan kreasi hidup manusia. Karena dibalik yang "nyata" itu ada sesuatu yang "metafisis', dan justru sebagai ikon penting yang harus diperhatikan manusia. Dengan begitu, kata Smith, manusia akan menemukan "makna" agama yang semestinya. Agama diturunkan adalah mengatur kehidupan manusia agar damai, selamat dan penuh keberkahan. Agama dapat efektif bagi manusia, apabila manusia mampu mencari "makna-makna" yang tersurat maupun tersirat secara bersunguh-sungguh. Upaya ini penting dilakukan, karena tak jarang agama hanya sebagai simbol religius seseorang yang tidak fungsional bagi pembentukan perilaku dan perbuatan. Agama hanya diekspresikan "makna" luarnya saja, yang cenderung formal, monolilitik, asosial, dan eksklusif. Agama hanya menjadi sumber perbedaan dan permusuhan, yang ujung-ujungnya menggiring pada konflik dan peperangan. Untuk membuka lebar-lebar kesadaran terhadap proses pencarian makna agama yang sejati, dibutuhkan upaya serius para pelaku dan pemeluk agama. Caranya adalah dengan merefleksi ulang apa yang sudah kita lakukan selama ini, dan menambah pengetahuan baru mengenai makna-makna agama itu untuk memperbaiki aktualitas kehidupan di dunia ini. Semangat universal yang terpancar agama sungguh merupakan misi mulia yang harus ditegakkan di muka dunia ini. Masyarakat modern yang justru memisahkan agama dan dunia, kini harus dilawan dengan cara memahami agama secara integral tanpa mendikotomi agama dan dunia. Dengan cara itulah diharapkan muncul kesadaran baru yang anggun, beradab dan mulia. *) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang. |
No comments:
Post a Comment