--> DOCUMENT MASNET QUR'AN

pertimbangan hadits

Kalau anda seorang yang belum ngarti atau sama sekali ngak tau sama hadits jangan lah sekali kali kali membaca tulisan ini karena ini sebagai koleksiku document ku yang di peroleh dari googling dan yang sebenarnya tidaklah setuju dengan ini karena ada pengkultussan sebagai seorang bintang dalam hadis padahal dalam tanaman ilmuku seorang ini di tolak siapa kah dia Syaikh Al Albani



inilah beberapa kajian tentang hadits-hadits dhaif dan palsu yang banyak beredar di masyarakat, dan sering dijadikan pedoman oleh mereka untuk beramal. Tidak sedikit di antara hadits-hadits tersebut sangat sering disampaikan dalam ceramah atau buku-buku, dan sayangnya tidak jelaskan kedudukannya sehingga banyak mengecoh pendengar dan pembacanya.

Semoga kajian ini bermanfaat dan bisa menjadi panduan bagi kita untuk berhati-hati dari hadits-hadits dhaif dan palsu. Cukuplah bagi kita hadits-hadits shahih saja, yang benar-benar nyata sebagai perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

1.

Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup Selamanya …dst

اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا

“Bekerjalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.”

Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini dan mereka terkecoh dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini bukanlah hadits.

Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfu’an (tidak ada dasarnya dari Rasulullah). (As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/63. No. 8. Darul Ma’arif)

Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat), yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386. Mawqi’ Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al ‘Aqdul Farid, 2/469. Mawqi’ Al Warraq)

Ada juga ucapan yang mirip dengan ini juga dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, dengan kalimat sedikit berbeda yakni “ Uhruz lid Duniaka (Jagalah untuk duniamu) …’, bukan “ I’mal lid Duniaka (bekerjalah untuk duniamu) ..”

أحزر لدنياك كأنك تعيش أبدا ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا

“Jagalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.” (Lihat Musnad Al Harits, No. 1079. Mawqi’ Jami’ Al Hadits. Lalu Imam Nuruddin Al Haitsami, Bughiyatul Bahits ‘an Zawaid Musnad Al Harits, Hal. 327. Dar Ath Thala’i Lin Nasyr wat Tauzi’ wat Tashdir. Lihat juga, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Mathalib Al ‘Aliyah, No. 3256. Mauqi’ Jami’ Al Hadits.)

Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu dan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash juga, dengan ungkapan yang juga agak berbeda yakni “Ihrits lid Duniaka (tanamlah untuk duniamu) ….. dst. (Lihat Imam Ar Raghib Al Ashfahani, Muhadharat Al Adiba’, 1/226. Mawqi’ Al Warraq. Lihat Ibnu Qutaibah, Gharibul Hadits, 1/81, pada Juz 2, Hal.123, beliau menyebutkan bahwa makna Ihrits adalah kumpulkanlah. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Jadi, ada tiga macam redaksi: I’malu (Bekerjalah), Uhruz (jagalah), dan Ihrits (tanamlah). Semua ini tidak satu pun yang merupakan ucapan Rasulullah, melainkan ucapan sahabat saja.

Bahkan ada juga sebagai berikut:

أصلحوا دنياكم ، و اعملوا لآخرتكم ، كأنكم تموتون غدا

“Perbaikilah oleh dunia kalian, dan bekerjalah untuk akhirat kalian, seakan kalian mati besok.” (HR. Al Qudha’i, No. 668. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)

Hadits ini tanpa ada bagian, “Seakan kau hidup selamanya.” Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah). Lantaran di dalam sanadnya terdapat Miqdam bin Daud dan Sulaiman bin Arqam. Syaikh Al Albani mengatakan dua orang ini adalah perawi dhaif. (As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874. Darul Ma’arif)

Imam Al Haitsami mengatakan bahwa Miqdam bin Daud adalah dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 5/120. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Sementara, Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin ‘Ali Al Hindi berkata tentang Sulaiman bin Arqam: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 113. Mawqi’ Ya’sub) Begitu pula Al ‘Allamah Alauddin Al Muttaqi Al Hindi juga menyebutnya matruk. (Kanzul ‘Umal, 7/183. No. 18596. Masasah Ar Risalah)

Sedangkan Al Haitsami mengatakan: dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 2/69) dan matruk. (Ibid, 2/112) Imam An Nasa’i dan Imam Ad Daruquthni juga mengatakan matruk. (Al Hazfizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 1/188. Mawqi’ Al Islam) Sedangkan Az Zaila’i sendiri berkomentar tentang Sulaiman bin Arqam: dhaif menurut para ahli hadits. (Ibid, 1/190. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, 13/380. Al Maktab Al Islami) Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan: matruk. (At Talkhish Al Habir, 1/655. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Selain dua orang ini, sanad hadits ini juga terdapat ‘Isa bin Waqid yang tidak diketahui identitasnya. Al Haitsami berkata: “Aku belum mendapatkan siapa saja yang menyebutkan tentang dia.” (Majma’ Az Zawaid, 1/293) Syaikh Al Albani sendiri mengatakan: Aku tidak mengenalnya.(As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874)

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Wallahu A’lam

Jadi, inti kalimat ini mengajarkan profesionalisme dalam bekerja dan ibadah. Namun demikian, sikap berlebihan dalam kedua hal ini juga bukan sikap yang dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba:

ما قل و كفى خير مما كثر و ألهى

“Apa pun yang sedikit tapi mencukupi, adalah lebih baik dibanding yang banyak tetapi melalaikan.” (HR. Ahmad No. 20728. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/82, No. 7. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 2640 dan 3001. Ath Thabari, Tahdzibul Atsar, No. 2496. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9986. Musnad Asy Syihab Al Qudha’i No. 1165. Musnad Ath Thayalisi, No. 1061. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihan, No. 3620. Katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak mengeluarkannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih-nya No. 3329)

2.

Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat

Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:

كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ثم قال : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم و الحزن

“Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan.” ( HR. Ibnu Sunni ,‘Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Sam’un, Al Amali, 2/176q).

Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan: maudhu’ (palsu).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:

وله طرق عن أنس ،كلها واهية .

“Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, semuanya lemah.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al ‘Ami dari Mu’awiyah, dari Qurrah, dari Anas … (lalu disebutkan hadts di atas)

Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al ‘Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al ‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1058. Darul Ma’arif)

Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, 10/47. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif (lemah). (Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif. (Al ‘Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam Al ‘Iraqi. (Takhrijul Ihya’, 6/290)

Al ‘Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al ‘Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad. (Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Sementara Imam An Nasa’i mengatakan Zaid Al ‘Ami sebagai laisa bil qawwi (bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 7/185. Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Ma’athi An Nuri, Al Musnad Al Jami’, 14/132) begitu pula kata Imam Abu Zur’ah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 3/561. Dar Ihya At Turats)

Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu katanya:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قضى صلاته مسح جبهته بكفه اليمنى ، ثم أمرها على وجهه حتى يأتي بها على لحيته ويقول : « بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الغم والحزن والهم ، اللهم بحمدك انصرفت وبذنبي اعترفت ، أعوذ بك من شر ما اقترفت ، وأعوذ بك من جهد بلاء الدنيا ومن عذاب الآخرة »

“Adalah Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: “Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat.” (HR. Abu Nu’aim, Akhbar Ashbahan, No. 40446. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)

Hadits ini dhaif (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al Mihbar pengarang kitab Al ‘Aql.

Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits. Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits. (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, No. 837. Mawqi’ Ya’sub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 45. Darul Ma’rifah. Lihat juga Al Hafizh Al ‘Uqaili, Dhu’afa, 2/35. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah )

Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif. (Khairuddin Az Zarkili, Al A’lam, 2/334. Darul ‘Ilmi wal Malayin)

Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah hilang. Abu Zur’ah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al ‘Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja’, dan Sulaiman bin ‘Isa Al Sajazi. (Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 2/20. No. 2646. Darul Ma’rifah) Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits. (Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 3/424, No. 1931)

Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalah maudhu’ (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya. (Syaikh Al AlBani, As Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1059. Darul Ma’arif)







Catatan:

Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.

Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan:

فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ.

وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه .

“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab:

وكرهه طائفة ؛ لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من الوضوء والسواك للصائم .

وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر السجود في وجهه .

خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ .

وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه رجل غير مسمىً .

وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي – صلى الله عليه وسلم – ، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً .

“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.” (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih)

Al Qadhi Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.

Imam An Nasa’i membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air.” (Ibid)

3.

Hadits Keutamaan Memakai Surban

العمامة على القلنسوة فصل ما بيننا وبين المشركين يعطى يوم القيامة بكل كورة يدورها على رأسه نورا (البارودي عن ركانة).

“Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk cahaya.” (Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)

Al ‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:

باطل رواه الباوردي عن ركانة مرفوعا كما في ” الجامع الصغير ” و بيض المناوي له فلم يتكلم عليه بشيء . و قال الشيخ الكتاني في ” الدعامة ” ( ص 7 ) : ” إن سنده واه ” . يعني أنه ضعيف جدا كما في الصفحة ( 34 ) منه . و قد صرح بشدة ضعف هذا الحديث الفقيه أحمد بن حجر الهيتمي في كتابه ” أحكام اللباس ” ( ق 9/2 ) فقال : ” و لولا شدة ضعف هذا الحديث لكان حجة في تكبير العمائم ” . قلت : و الحديث عندي باطل لأن تكثير كورات العمامة خلاف هدي النبي صلى الله عليه وسلم فيها ، بل هو من ثياب الشهرة المنهي عنها في أحاديث خرجت بعضها في آخر كتابي ” حجاب المرأة المسلمة ” .

و الشطر الأول من الحديث رواه الترمذي و ضعفه ، و هو مخرج في ” الإرواء ” (1503 ) .

“Hadits ini batil. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah secara marfu’, sebagaimana tertera dalam Al Jami’ Ash Shaghir. Al Munawi telah memutihkannya (maksudnya membelanya, pen) tetapi tidak berpengaruh sedikit pun. Berkata Syaikh Al Kattani dalam Ad Da’amah (Hal. 7): “Sanadnya dhaif.” Yakni sangat dhaif sebagaimana dijelaskan dalam halaman 34 dari kitabnya. Al Faqih Ahmad bin Hajar Al Hatami telah menguatkan kedhaifan hadits ini dalam kitabnya Ahkam Al Libas (2/9Q), dengan berkata: “Seandainya tidak sangat dhaif, niscaya hadits ini menjadi hujjah penghormatan terhadap surban.”

Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini menurutku adakah batil, karena memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah.

Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa’ (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah, 3/362, No. 1217. Darul Ma’arif)

Dalam hadits lain berbunyi:

من اعتم فله بكل كورة حسنة ، فإذا حط فله بكل حطة حطة خطيئة

“Barangsiapa yang menggunakan surban, maka pada setiap liliannya adalah satu kebaikan, dan jika dilepaskan lilitannya maka setiap satu kali lepasan lilitan menghapuskan satu kesalahan.”

Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu’ , dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebtkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718)








Catatan:

Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab hadits-hadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Wallahu A’lam wa ilaihil musytaki …

Syaikh Al Albani telah memberi komentar atas hadits ini:

و هذا الحديث و أمثاله من أسباب انتشار البدع في الناس ، لأن أكثرهم حتى من المتفقهة لا تمييز عندهم بين الصحيح و الضعيف من الحديث ، و قد يكون موضوعا ، و لا علم عنده بذلك فيعمل به و تمر الأعوام و هو على ذلك فإذا نبه على ضعفه بادرك بقوله : لا بأس ، يعمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال ! و هو جاهل بأن الحديث موضوع أو شديد الضعف كهذا ، و مثله لا يجوز العمل به اتفاقا ، و إني لأذكر شيخا كان يؤم الناس في بعض مساجد حلب ، على رأسه عمامة ضخمة تكاد لضخامتها تملأ فراغ المحراب الذي كان يصلي فيه! فإلى الله المشتكى مما أصاب المسلمين من الانحراف عن دينهم بسبب الأحاديث الضعيفة و القواعد المزعومة ؟

“Hadits ini dan yang semisalnya merupakan sebab tersebarnya bid’ah dikalangan manusia, lantaran kebanyakan mereka sampai-sampai orang-orang yang sudah faham fiqih pun tidak bisa membedakan antara shahih dan dhaif, dan palsu-nya hadits. Dia tidak mengetahui hal itu, lalu mengamalkannya dan orang banyak melihat dia seperti itu. Jika, dikabarkan kepadanya bahwa hadits tersebut dhaif (lemah), serta merta dia menanggapi dengan ucapan; “Tidak apa-apa mengamalkan hadits dhaif untuk masalah fadhailul amal!” ini adalah kebodohan, karena hadits palsu atau hadits dhaif yang amat sangat, dan hadits yang semisalnya, telah disepakati oleh para ulama tidak boleh diamalkan. Sesungguhnya saya (Syaikh Al Albani) masih ingat tentang seorang syaikh yang mengimami manusia di sebagian masjid di daerah Halab, dia memakai surban yang sangat lebar di kepalanya, saking lebarnya surban itu memenuhi bagian kosong mihrab tempatnya shalat! Maka, hanya kepada Allah tempat mengadu terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin berupa penyimpangan mereka dari agama mereka, disebabkan oleh hadits-hadits lemah dan kaidah yang maz’um (dikira benar). (Ibid)

4.

Allah Ta’ala Menolak Amal Ibadah Pelaku Bid’ah

Dari Ibnu Abbas Radhilallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ

“Allah menolak amalan pelaku bid’ah sampai orang itu meninggalkan perbuatan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Majah, No. 50. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 32)

Hadits ini dhaif. Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahmahullah:

وَفِي الزَّوَائِد رِجَال إِسْنَاد هَذَا الْحَدِيث كُلّهمْ مَجْهُولُونَ قَالَهُ الذَّهَبِيّ

“Dalam Az Zawa’id disebutkan bahwa para periwayat (rijal) hadits ini semuanya majhul (tidak dikenal), itulah yang dikatakan Adz Dzahabi.”(Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiyah ‘Ala Ibni Majah, No. 49. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Sanad hadits ini adalah dari Abdullah bin Sa’id, dari Bisyr bin Manshur, dari Abu Zaid, dari Abu Al Mughirah, dari Ibnu Abbas, lalu disebutkan hadits di atas.

Al Hafizh Al Mizzi mengatakan:

سئل أبو زرعة الرازي عن أبي المغيرة؟ فقال: هو وبشر بن منصور مجهولان، لا أعرفهما

Imam Abu Zur’ah ditanya tentang Abu Al Mughirah, beliau menjawab: “Dia dan Bisyr bin Manshur adalah majhul (tidak dikenal), aku tidak mengenal keduanya.” (Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, No. 6569. Al Maktab Al Islami)

Sedangkan, Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1492. Al Maktab Al Islami)

Ada hadits lain dari Hudzaifah yang berbunyi lebih mendetil:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلَا صَلَاةً وَلَا صَدَقَةً وَلَا حَجًّا وَلَا عُمْرَةً وَلَا جِهَادًا وَلَا صَرْفًا وَلَا عَدْلًا يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ

“Allah Tidak menerima amalan pelaku bid’ah, baik puasanya, shadaqah, haji, umrah, jihad, ibadahnya, dan keadilannya. Dia keluar dari Islam seperti tercabutnya rambut dari tepung.” (HR. Ibnu Majah, No. 49)

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini lebih buruk dari sebelumnya, dan dia menyatakan hadits ini palsu (maudhu’). (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1493)

Hal ini disebabkan karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Mihshan. Imam Al Haitsami mengatakan:

“Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits.” (Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 1/82. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa Muhammad bin Mihshan ini disebut pendusta oleh Imam Yahya bin Ma’in. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 3/245)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Muhammad bin Mihshan adalah seorang syaikh pemalsu hadits yang dia kutip dari orang-orang terpercaya, tidak halal menyebutkan dirinya kecuali di dalamnya mesti ada cacatnya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/277)

Lebih lengkap lagi dalam Tahdzibut Tahdzib sederetan para Imam Ahli Hadits yang memberikan Jarh (penilaian cacat) untuk Muhammad bin Mihshan ini, seperti Bukhari, Yahya bin Ma’in, Ahmad, Ad Daruquthni, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al ‘Uqaili, semuanya menilai dengan sebutan yang berbeda-beda seperti: pemalsu hadits, pendusta, munkarul hadits, matruk (haditsnya ditinggal), dan majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 9/381.Darul Fikr)








Catatan:

Para pelaku bid’ah, amalan bid’ah yang dilakukannya adalah tertolak, bahkan dia telah melakukan kesesatan yang berdosa, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih. Namun demikian jika dia melakukan amal shalih yang sesuai sunah di lain waktu, maka hal itu tetap diterima dan berpahala. Hal ini sesuai dengan ayat:

“ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah (99): 7-8)

Di sisi lain, orang yang melakukan bid’ah, lalu bertobat dari bid’ahnya itu, tetapi sayangnya dia masih melaksanakan bid’ahnya itu maka tobatnya sia-sia. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله حجب التوبة عن صاحب كل بدعة

“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku seiap bid’ah.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9137. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami)

Al Imam An Nawawi juga menegaskan tentang perkataan para ulama dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, tentang syarat-syarat diterimanya taubat, diantaranya adalah harus meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Berikut keterangan Imam An Nawawi Rahimahullah:

قال العلماء: التوبة واجبةٌ من كل ذنبٍ، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدميٍ؛ فلها ثلاثة شروطٍ: أحدها: أن يقلع عن المعصية.

والثاني: أن يندم على فعلها.

والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فقد أحد الثلاثة لم تصح توبته. وإن كانت المعصية تتعلق بآدميٍ فشروطها أربعةٌ: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها؛ فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذفٍ ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبةً استحله منها.

“Berkata para ulama: “Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:









1.

Meninggalkan maksiat tersebut
2.

Membenci/menyesali perbuatan tersebut
3.

Berjanji tidak mengulanginya selamanya.

Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 3-4. Mawqi’ Al Warraq)

No comments:

Post a Comment