Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama tradisional yang telah ada sebelum agama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam dan Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).
Mungkin  banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui  bahwa sebelum agama-agama “resmi” (agama yang diakui); Islam, Kristen  Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu,  masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di  Jawa Tengah  dan  Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di  Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll. 
Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut di degradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di  Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP,  Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil ,dsb.  Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin  punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada  didaerah pedalaman seperti contohnya pedalaman  Sumatra dan pedalaman  Irian Jaya.
Di  Indonesia, aliran kepercayaan yang paling banyak penganutnya adalah Agama Buhun. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak,  penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan jumlah pemeluk agama ini  100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu  aliran kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25 persen dari seluruh  penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata  tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.
Daftar Agama Asli Nusantara (kepercayaan)
- Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)
- Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
- Buhun (Jawa Barat)
- Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
- Parmalim (Sumatera Utara)
- Kaharingan (Kalimantan)
- Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
- Tolottang (Sulawesi Selatan)
- Wetu telu (Lombok)
- Naurus (pulau Seram, Maluku)
- Aliran Mulajadi Nabolon
- Marapu (Sumba)
- Purwaduksina
- Budi Luhur
- Pahkampetan
- Bolim
- Basora
- Samawi
- Sirnagalih
1. Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan (Bahasa  Sunda : “Sunda permulaan”, “Sunda sejati”, atau “Sunda asli”) adalah  agama atau kepercayaan asli masyarakat Sunda yang dianut oleh masyarakat  tradisional Sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa  di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes,  Lebak,  banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul,  Cisolok, Sukabumi;  Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan.  Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut  sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu.
Berdasarkan keterangan kokolot  (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau  Buddha, melainkan penganut ajaran leluhur, yaitu kepercayaan asli nenek  moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah  dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu,  ajaran Islam Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai  ajaran “Jatisunda“.
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang  Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa),Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
- Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
- Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
- Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang  atau menurut kropak 630 bernama Alam  Kahyangan atau Mandala Hyang.  Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi  Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara  di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara  Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan  lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah  lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama  senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur  yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola  hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang  komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya  berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri  Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
- Welas asih: cinta kasih
- Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
- Tata krama: tatanan perilaku
- Budi bahasa dan budaya
- Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri  Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di  dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan  antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan,  perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri  Bangsa yang terdiri dari:
- Rupa
- Adat
- Bahasa
- Aksara
- Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti  tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng  karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani  hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat  dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia  akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang  tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan  banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam  agama Sunda ini hanya ada dua.
- Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
- Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan,  yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati  serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka  ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam  bahasa orang Kanekes disebut “Buyut”) paling banyak diamalkan oleh  mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal  sebagai orang Baduy Dalam.
Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan terdapat  tradisi nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat  dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun  yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama  Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu  berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun  dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten;  Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan   Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih  memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini  datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan  banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham  dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan  penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang  Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.
2. Agama Djawa Sunda
Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi ADS)  adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog Belanda terhadap  kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan  Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun,  yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya  terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga  masyarakat Baduy di  Kabupaten Lebak, para pemeluk “Agama Kuring” di  daerah Kecamatan  Ciparay, Kabupaten Bandung, dll.
Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur  sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut  dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul  Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu  kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha  Esa.
Agama Djawa Sunda atau agama Sunda  Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan.  Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke   Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan  ajarannya.
Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais  — adalah keturunan dari  Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di  wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah  Hindia Belanda menyerang  kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang  juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa,  dibesarkan dalam tradisi  Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis.  Ia mendirikan  pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun  kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam  masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara  dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.
Ajaran dan ritual dalam ADS
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung  menurut kalender Sunda sebagai hari raya  Seren Taun yang diperingati  secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca  Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan  yang kini dihuni oleh Pangeran  Djatikusuma.
Dalam upacara ini, berbagai rombongan  dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian  yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil  bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan  syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada  manusia. Upacara “Seren Taun” yang biasanya berlangsung hingga tiga hari  dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh  pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan  kembali. Salah satu upacara “Seren Taun” pernah dihadiri oleh Menteri  Perindustrian, Andung A Nitimiharja, mantan Presiden RI,  Abdurrahman  Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap  Dewi Sri  (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi.
Selain itu karena non muslim Agama Djawa  Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang  yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.
Masa depan ADS
Di masa pemerintahan Orde Baru, para  pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui  keberadaan lima agama, hingga akhirnya banyak pengikutnya yang kemudian  memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.
Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan  kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan  kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang  11 juli  1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).
Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan  anak laki-laki satu-satunya, yaitu  Gumirat Barna Alam, untuk  meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus  bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak  Pangeran Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan  lain.
3. Kejawen
Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa,  sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu  segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan).  Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar  ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan  bagian dari agama asli Nusantara. Seorang ahli anthropologi Amerika  Serikat,  Clifford  Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama  The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut “Agami Jawi”.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta  filosofii orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak  menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama  monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai  seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan  sejumlah laku. Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada  aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam  pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau   Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada  kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan  benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti  keris, wayang,  ritual, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki  arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang yang tidak  memahami yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik  dan perdukunan.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan  sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik  Hindu,  Buddha, Islam, maupun  Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang  bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang  terhadap tantangan perubahan zaman.
Beberapa aliran kejawen
Terdapat ratusan aliran kejawen dengan  penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang  lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya  ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai  keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktekkan ajaran  agama (lain) tertentu.
- Beberapa aliran dengan anggota besar
- Padepokan Cakrakembang
- Sumarah
- Budi Dharma
- Maneges
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran  Sabdopalon, atau penghayat ajaran  Syekh Siti Jenar.
4. Parmalim
Parmalim, adalah nama  sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dibilang agama yang terutama  dianut di  Propinsi Sumatra Utara. Agama Parmalim adalah agama asli suku   Batak.
Pimpinan Parmalim saat ini adalah  Raja marnangkok Naipospos.
Agama ini bisa dikatakan merupakan  sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tumbuh dan  berkembang di Tanah Air Indonesia sejak dahulu kala. “Tuhan Debata  Mulajadi Nabolon” adalah pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi  alam semesta yang disembah oleh “Umat Ugamo Malim” (“Parmalim”).
5. Kaharingan
Kaharingan/Hindu Kaharingan  adalah  kepercayaan/agama lokal  suku  Dayak di  Kalimantan Istilah  kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap  Tuhan Yang Maha Esa (Ranying),  yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat  Dayak di Kalimantan. Karena Pemerintah  Indonesia mewajibkan penduduk  dan warganegara untuk menganut salah satu  agama yang diakui  Pemerintah, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti   Tolottang (Hindu Tolottang)  pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori   agama Hindu sejak 20 April 1980, mengingat adanya persamaan dalam  penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban  (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai  tujuan yang sama untuk mencapai  Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda  kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut  tahun 1944, saat Ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di   Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan  sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para  penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.  Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi  dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau BALAI KAHARINGAN. Kitab suci agama mereka adalah  Panaturan  dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar  (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur  beras), dan sebagainya.
Dewasa ini, suku Dayak sudah  diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam  Kartu Tanda Penduduk.  Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut  adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara.  Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalteng mencatat ada 223.349  orang penganut Kaharingan di Indonesia.
Tetapi di  Malaysia Timur ( Sarawak dan  Sabah ), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian  umat beragama  Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum  menganut suatu agama apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan  adalah  majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di   Palangkaraya, Kalimantan Tengah
6. Wetu Telu
Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat  suku Sasak  yang mendiami  pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai  bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa  lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu  itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan  ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah  sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di  daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam  usahanya meluruskan praktik tersebut.
Sejarah
Konon, sebelum masuknya Islam,  masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut  kepercayaan animisme, dinemisme kemudian  Hindu. Islam pertama kali  masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar  abad XVI, setelah runtuhnya  Kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang  digunakan para penyebar tersebut adalah  Bahasa Jawa Kuno. Dalam  menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta  menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan  lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat  setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat  setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama  pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi  para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa  Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah  para pemangku adat atau kiai saja.
Dalam masyarakat lombok yang awam  menyebut kepercayaan ini dengan sebutan “Waktu Telu” sebagai akulturasi  dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme, dinamisme  dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak  menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal  dengan sebutan “Waktu Lima” karena menjalankan kewajiban salat Lima  Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah  orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk  pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan  dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb)  harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat  bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari  tuan rumah.
Lokasi
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu  Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok  Barat. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan  masjid yang digunakan oleh  para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh  umat berbagai agama untuk berdoa. Namanya  Kemaliq yang artinya tabu, suci dan sakral.terletak  di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat, yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama Upacara Pujawali  Dan Perang Topat“ sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia.
7. Marapu
Marapu adalah sebuah  agama lokal yang dianut oleh masyarakat di  Pulau Sumba. Agama ini  merupakan kepercayaan peninggalan nenek moyang dan leluhur. Lebih dari  setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.
Pemeluk agama ini percaya bahwa  kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman  mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal  sebagai Prai Marapu.
upacara keagamaan marapu ( seperti  upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan pemotongan hewan seperti  kerbau dan kuda swebagai korban sembelihan, dan hal itu sudah menjadi  tradisi turun – temurun yang terus di jaga di Sumba.
Agama Marapu adalah “agama  asli” yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa  Tenggara Timur. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialahmarapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Kehadiran para marapu  di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci  yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci)  yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu  yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal  itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang  Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata  kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau  (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya  Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat  kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau  peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinanMarapu, Yang  Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap  tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun  dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap  sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan  Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan  dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian  yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara)  antara manusia dengan Tuhannya. Selain memuja arwah leluhur,  juga percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa  dan berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan  gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa. Untuk mengadakan  hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba  melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara  (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan  menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada  kehidupan manusia. Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu  sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan  pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan  masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah mereka  melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Walaupun  dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai  kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka  agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu  yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan  diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat  mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman  serta binatang ternak. Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup  yang mereka laksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan  secara relatif mewah sehingga memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang  Sumba, hal tersebut mereka lakukan untuk mengungkapkan rasa terima  kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur,  serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan diantara mereka. Pada setiap  upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula.  Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka.  Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat, karena itu  tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan  alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara  dianggap keramat pula. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya. Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihuterutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada paramarapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katoda, tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, seperti pahapa (sirih pinang), kawadaku(keratan mas) dan uhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu  (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan  dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu  rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku (bahasa puitis, berbait)disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu  (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut  kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara  gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah  itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu  senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik  turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu  (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut  harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para  leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu  (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari  rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari  bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataunguialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku,  yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun  sekali. Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari  alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu  disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar  ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain  itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan  kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila  selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan  alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal  tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah  dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai  kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah  leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu  mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku — hara  sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya  terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh  perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan  para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara.  Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci,  genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara  harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta.  Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada  kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap  individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau  krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian.  Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan.  (P. Soeriadiredja). MARAPU : AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR
(P. Soeriadiredja, LABANT – FS UNUD, DENPASAR 2002)
Makna istilah “agama” sering menimbulkan  banyak kontroversi yang lebih besar daripada arti penting  permasalahannya. Pada umumnya di Indonesia, istilah agama digunakan  untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi oleh negara, seperti  Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan semua sistem  keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi”  (Koentjaraningrat, 1974:137-142). Untuk menyatukan persepsi dan tidak  menimbulkan perdebatan berkepanjangan, serta pertimbangan bahwa suatu  sistem keyakinan atau religi merupakan suatu agama hanya bagi  penganutnya, dan juga melihat situasi dari yang menghayatinya,  meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam pembahasan ini  akan digunakan istilah “agama” saja untuk menyebut suatu sistem  keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya. Pernyataan tersebut  penulis tekankan karena bertujuan hendak mendekati agama sebagai bagian  dari kehidupan sosio-kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi  terlepas dari kekeramatan dan kesucian yang terkait padanya secara  dogmatis. Hendak melihat suatu kenyataan dari sudut pandang pelaku.  Secara umum, Parsudi Suparlan (dalam Robertson,1988:v-xvi)  mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang  mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya,  mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan  manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai  suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang  diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi  dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai  yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran  mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan  petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena  itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai  yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi  pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota  masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai  kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Sebagai inti dari sistem nilai  yang ada dalam kebudayaan, sistem keyakinan ini seolah-olah berada di  luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang  bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan  nilai-nilai tersebut yang hidup dalam masyarakatnya sehingga  konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka.  Itulah sebabnya nilai-nilai tersebut sukar diganti dengan nilai-nilai  lain (Koentjaraningrat,1974:13,32-33).
SUMBER : WIKIPEDIA

No comments:
Post a Comment