Konsep ahlul kitab dalam sejarah Islam selalu berkembang. Pada masa Nabi, ahlu kitab kerap dikaitkan hanya kepada agama Yahudi dan Nasrani, karena pada masa itu, Nabi Muhammad hanya berinteraksi kepada dua agama besar itu. Tapi, setelah Islam meluas, konsep ahlul kitab juga semakin luas. Beberapa ulama Islam, seperti al-Sahrastani dan al-Baghdadi, menganggap agama lokal Iran (Zoroaster) sebagai ahlul kitab.
Konsep ahlul kitab dalam sejarah Islam selalu berkembang. Pada masa Nabi, ahlu kitab kerap dikaitkan hanya kepada agama Yahudi dan Nasrani, karena pada masa itu, Nabi Muhammad hanya berinteraksi kepada dua agama besar itu. Tapi, setelah Islam meluas, konsep ahlul kitab juga semakin luas. Beberapa ulama Islam, seperti al-Sahrastani dan al-Baghdadi, menganggap agama lokal Iran (Zoroaster) sebagai ahlul kitab. Di Indonesia, ketika yang dihadapi Islam bukan hanya satu atau dua agama, maka konsep ahlul kitab juga perlu diperbaharui. Menurut Dr. Zainun Kamal, pengajar Pasca-Sarjana IAIN Jakarta, semua agama di Indonesia layak dianggap ahlul kitab. “Budha, Hindu, dan Shinto adalah ahlul kitab,” tegas alumnus Universitas al-Azhar, Mesir itu kepada Nong Daral Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu. Berikut petikannya: Sebenarnya, bagaimana konsep ahlul kitab dalam Islam?
Secara bahasa, ahlul kitab adalah orang yang mempunyai kitab. Artinya orang yang mengikuti kitab suci yang diturunkan kepada salah seorang nabi. Secara singkat, ahlul kitab bisa diartikan orang yang mempercauyai salah satu nabi dan percaya kepada kitab suci, entah itu Yahudi atau Nasrani.
Dalam Alquran, kata ahlul kitab kerap kali ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani. Apakah memang hanya dua agama ini saja yang layak disebut sebagai ahlul kitab?
Sebenarnya kalau kita melihat kitab-kitab tafsir atau buku-buku sejarah Islam, pengertian ahlul kitab tersebut tidak terbatas pada Yahudi atau Nasrani. Mengapa yang sangat populer adalah Yahudi dan Nasrani, karena dua agama ini memiliki penganut yang cukup besar. Padahal, asalkan sudah percaya kepada nabi dan percaya adanya kitab suci yang diturunkan kepada salah satu nabi, itu sudah bisa disebut ahlul kitab.
Artinya, kalau dikontekstualisasikan kepada lima agama yang diakui secara resmi di Indonesia, agama-agama selain Islam juga bisa disebut ahlul kitab?
Kita lihat dulu secara makro. Pemahaman klasik, misalnya menurut Imam Abu Hanifah, dan saya juga membaca al-Baghdadi dalam bukunya, al-Farq bayna al-Firaq. Al-Baghdadai mengatakan bahwa agama Majusi atau Zoroaster yang ada di sekitar Arab juga bisa disebut ahlul kitab. Alasannya karena Zoroaster dianggap sebagai nabi. Bahkan Ibnu Rusyd menyebut Aristoteles juga sebagai seorang nabi.
Kalau dalam konteks Indonesia, agama Budha, agama Hindu, atau agama Konghucu, agama Shinto, menurut Mohammad Abduh, dalam kitab tafsirnya, al-Manar, juga disebut ahlul kitab. Alasannya karena ada kitab sucinya. Dan tentu saja, kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Alquran bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (fabaatsna likulli ummatin rasula).” Jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci.
Tapi ada yang mengatakan bahwa agama Budha dan Hindhu bukan termasuk ahlul kitab?
Dalam pemahaman klasik, agama Budha, Shinto, dan Hindhu memang diklasifikasikan sebagai agama budaya atau agama ardhi (ciptaan manusia). Persoalannya begini, yang mengatakan agama Budha misalnya, disebut agama budaya (ardhi) itu siapa? Mereka, para penganut Budha, Hindhu dan lain-lain tentu marah bila disebut sebagai penganut agama ardhi (Bumi) Kenapa? Karena orang Budhha pun menganggap dirinya sebagai agama samawi (langit) dan mendapat wahyu.
Di dalam Alquran pun disebut bahwa Allah mengutus seorang rasul pada setiap umat. Juga, dalam ajaran kita, jumlah nabi dan rasul banyak sekali. Menurut riwayat, nabi berjumlah 12 ribuan, sementara rasul berjumlah 300-an. Alquran menyatakan bahwa sebagian nabi diceritakan kepada kita, dan sebagian besarnya tidak diceritakan. Karena itu, bisa saja pembawa agama sebelum Islam pun bisa disebut sebagai nabi. Kenapa? Coba lihat ajaran Budha, tinggi sekali ajaran moralnya. Tanda nabi adalah tingginya pesan moral yang dibawa. Coba lihat tafsir al-Manar jilid 6 yang mengisyaratkan panjang lebar soal ahlul kitab.
Dulu sewaktu saya di pesantren, saya pernah belajar juga di Sumatra Thawalib. Ada kitab al-Mu’in al-Mubin karangan Abdul Hamid Hakim. Dia menyebutkan juga bahwa Budha, Hindhu, Shinto dan sejenisnya disebut sebagai ahlul kitab.
Jadi pengertian ahlul kitab itu sangat luas?
Ya, benar. Bahkan menurut Abu Hanifah; kalau misalnya ada satu lembaran saja, misalnya kitab Zaburnya Ibrahim, orang yang mengimaninya sudah bisa dianggap sebagai ahlul kitab.
Bagaimana Islam menyikapi posisi ahli kitab?
Inilah yang sangat indah dalam konsep Islam dan tidak terdapat dalam agama lain. Sesungguhnya, kita wajib mempercayai adanya ahlul kitab dan kita wajib pula mempercayai bahwa mereka juga punya seorang nabi. Dengan begitu, kita harus mengakui eksistensi mereka.
Untuk itu, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak hidup secara berdampingan dengan mereka, saling bekerjasama dan tidak ada kendala sama sekali dengan mereka. Dalam Islam, ada konsep dasar untuk mempercayai nabi-nabi terdahulu, dan kurang sempurna iman seorang muslim yang tidak mempercayai kitab-kitab suci yang dibawa nabi-nabi terdahulu. Indah sekali konsep ini.
Artinya, Islam menuntut kita untuk bersikap toleran kepada mereka?
Benar, kita harus toleran dan terbuka. Bahkan dalam perjalanan sejarah, sewaktu syiar Islam sampai di daerah Spanyol, banyak di antara umat Islam yang kawin dengan penduduk asli Spanyol yang beragamag Yahudi dan Kristen. Mereka membangun Spanyol atau Andalusia bersama-sama.
Anda mengatakan Islam sangat toleran dengan ahlul kitab. Tapi, saya membaca beberapa buku yang menyebut bahwa ada sekelompok ahlul kitab yang memusuhi atau merugikan Islam. Bagaimana pandangan Islam dalam hal ini?
Sesungguhnya kalau mereka mengerti kitab-kitab suci mereka, pastilah mereka akan bersikap toleran terhadap agama lain. Seperti juga umat Islam, kalau benar-benar memahami Alquran, mereka pasti akan bersikap toleran terhadap agama lain. Tapi toh ada juga umat Islam yang tidak toleran dengan agama lain karena minimnya pemahaman mereka terhadap kitab suci.
Begitu juga penganut agama lain, juga ada yang tidak toleran. Karena itu, dalam Alquran dikatakan Laisu sawaan min ahlil kitab: yang berarti “Ahlul kitab itu tidak sama.” Karena itu, kita tak boleh berpikiran negatif kepada semua ahlul kitab. Masih ada ummatun qaaimatun yatluuna ayaatillah (suatu ummat yang membaca dan memahami ayat Tuhan siang dan malam, bersujud kepada Tuhan dan beriman kepada Allah dan hari Akhir). Ya’muruuna bil ma’ruf wa yanhauna anial- munkar (yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran). Orang seperti ini akan dijamin oleh Allah masuk surga.
Jadi, ujung-ujungnya adalah bagaimana kita bisa menjalankan ajaran kita sendiri sehingga kita bisa berbuat baik kepada penganut agama lain?
Sebelum kita menjalankan, kita harus memahami benar-benar ajaran kita. Banyak orang yang rajin sekali menjalankan ritual-ritual agamanya, tapi tidak memahami substansi ajaran kitab sucinya. Karenanya, perlu pemahaman dan penghayatan secara mendalam, sehingga dapat terefleksikan dalam perbuatan.
Kita melihat dalam kenyataan bahwa dalam setiap agama selalu ada klaim agamanyalah yang paling benar? Menurut Anda?
Soal claim of truth adalah hal yang lumrah. Misalnya Yahudi menolak klaim agama Kristen yang datang sesudahnya. Juga ada orang Nasrani yang menganggap agamanyalah yang paling benar ketimbang Islam yang datang belakangan. Kita juga kadang-kadang seperti itu juga. Artinya, kita tidak mau mengakui yang lain dan merasa kita yang paling benar. Itu wajar sekali. Kita mengklaim kebenaran ada di pihak kita. Yang paling penting adalah, pada saat kita mengklaim kitalah yang paling benar, kita harus memiliki alasan dan argumentasi yang logis. Alquran mengatakan: Fa’tu burhanakum in kuntum shadiqin (berilah argumen kalian jika kalian merasa benar).
Karena itu, barangkali kita bisa duduk dalam meja bundar dan kita bisa berdialog secara terbuka. Karena kita menolak yang lain, kadang-kadang kita menutup dialog dan tidak mau melihat kebenaran di pihak lain.
Bagaimana dengan persoalan fikih, misalnya soal perkawinan dengan ahlul kitab? Ada yang mengatakan bahwa sekarang ini, sudah tidak ada lagi yang namanya ahlul kitab?
Soal boleh tidaknya menikah antara laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab, masalah ini bisa dilihat dalam Alquran surat al-Maidah (5) ayat 5. Di sana secara tegas dan qathiy disebutkan halal menikah dengan perempuan ahlul kitab. Sementara kalau seorang perempuan muslimah menikah dengan laki-laki ahlul kitab, masih terjadi perdebatan di antara ulama. Ini karena soal ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam Alquran.
Jadi soal al-Maidah ayat 5, tidak ada khilafiah di antara ulama. Ini jelas boleh karena para sahabat banyak yang melakukan pernikahan dengan wanita ahlul kitab. Misalnya Usman dan Thalhah pernah kawin dengan wanita Yahudi dan Nasrani. Contoh yang sekarang adalah Yaser Arafat, pemimpin PLO Palestina, juga menikah dengan seorang wanita Kristen. Dan dosen-dosen saya di Universitas al-Azhar Mesir banyak yang menikah dengan perempuan non-Islam.
Kemudian mengenai anggapan bahwa sekarang tidak ada lagi ahlul kitab. Benarkah ini? Orang Nasrani sudah melakukan penyimpangan semenjak abad keempat masehi. Kitab suci mereka sudah mengalami perubahan sejak sebelum Islam muncul pada abad ketujuh masehi. Dalam Alquran dikatakan bahwa orang Nasrani sudah percaya kepada trinitas pada waktu Alquran turun. Walaupun mereka sudah percaya kepada trinitas, Alquran tetap meminta umat Islam untuk percaya kepada ahlul kitab. Meskipun mereka sudah menyimpang, mereka tetap dipanggil dengan sebutan ahlul kitab. Karena itu tidak ada perbedaan substansial dalam istilah ahlul kitab pada masa nabi dengan sekarang. Karena mereka tetap percaya kepada nabi-nabi dan kitab suci.
Singkatnya, orang-orang non-Islam sekarang bisa disebut ahlul kitab karena mereka masih mengakui adanya nabi dan kitab suci?
Yang tidak dibolehkan adalah menikahi orang musyrik. Coba lihat al-Baqarah ayat 22. Dalam ayat itu jelas-jelas disebutkan “jangan menikahi wanita-wanita musyrik.” Musyrik di sini adalah kaum musyrik Mekkah, karena mereka sama sekali tidak percaya adanya nabi-nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi mereka. Dalam Alquran, dari awal hingga akhir ada tiga golongan yang disebut: pertama, ahlul iman yang spesifik menunjuk kepada pengikut Muhammad, kedua, ahlul kitab dan ketiga, musyrik.
Karena itu, Alquran membedakan antara ahlul kitab dengan kaum musyrik. Dalam surah al-Bayyinah, Alquran menegaskan: “bukanlah ahlul kitab orang-orang musyrik.” Ini menunjukkan perbedaan substansial antara keduanya. Karena itu, Alquran melakukan pembedaan kategoris antara keduanya
No comments:
Post a Comment