Sebagaimana dikemukakan oleh Thomas F. Odea, dari sudut teori fungsional agama didefinisikan sebagai: pendayagunaan sarana non-empiris atau supra-empiris untuk maksud- maksud non empiris atau supra-empiris( Odea. 1996: 13 ). Sedangkan ditinjau dari ajarannya seperti ditakrifkan oleh Prof. Whitehead adalah: suatu sistem kebenaran umum yang mempunyai akibat merobah perangai manusia jika segalanya itu dipegang teguh dan dilaksanakan dengan gembira(Iqbal, 1966: 32).
Teori fungsional memandang sumbangan agama terhadap masyarakat dan kebudayaan berdasarkan pada karakteristik pentingnya, yakni transendensi pengalaman sehari-harinya dalam lingkungan alam. Mengapa manusia membutuhkan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” atau dalam istilah Talcott Parsons, “referensi transendental”’sesuatu yang berada diluar dunia empiris ? Mengapa masyarakat harus membutuhkan berbagai kebutuhan praktek serta lembaga yang menyatukan dan melestarikan mereka ? Teori fungsional memandang kebutuhan demikian itu sebagai hasildari tiga karakteristik dasar eksistensi manusia. Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian, hal yang sangat penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia berada di luar jangkauannya. Dengan kata lain eksistensi manusia, ditandai oleh ketidakpastian. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi kondisi hidupnya, walaupun kesanggupan tersebut kian meningkat, pada dasarnya terbatas. Pada titik dasar tertentu, kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidakberdayaan.
Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Di sini tercakup pembagian kerja dan produk. Ia membutuhkan kondisi imperatif, yakni suatu tingkat superordinasi dan sub-ordinasi dalam hubungan manusia. Kemudian masyarakat berada ditengah-tengah kondisi kelangkaan, yang merupakan ciri khas pokok ketiga dari eksistensi manusia. Kebutuhan akan suatu tatanan dalam kelangkaan yang menyebabkan perbedaan distribusi barang dan nilai, dan dengan demikian menimbulkan deprivasi relatif. Jadi seorang fungsional memandang agama sebagai pembantu manusia untuk menyesuaikan diri dengan ketiga fakta ini, ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan (dan dengan demikian harus pula menyesuaikan diri dengan frustasi dan deprivasi). Menurut teori fungsional, inilah karakteristik esensial kondisi manusia, karena itu sampai tingkat tertentu tetap ada disemua masyarakat. Agama dalam artian ini dipandang sebagai “mekanisme” penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur yang mengecewakan dan menjatuhkan. Anggapan agama sebagai salah satu unsur inti dalam kebudayaan akan memberikan arti penting bagi manusia. Seperti halnya kebudayaan, agamapun dapat digambarkan sebagai suatu “rancangan dramatis”, yang berfungsi “untuk mendapatkan kembali sense of flux atau gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses serrentak dengan penampilan tujuan, maksud dan historis.
Agama sebagai mana kebudayaan, merupakan tranformasi simbolis pengalaman. Seperti halnya kebudayaan agama juga merupakan sistem pertahanan, dalam arti sebagai seperangkat kepercayaan dan sikap yang akan melindungi kita melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi. Agama juga merupakan suatu sistem pengarahan(directive system) yang tersusun dari unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban kita pada berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan perbuatan. Yang terakhir agama juga mencakup simbol ekonomi, ia menyangkut pengalokasian nilai-nilai simbolis dalam bobot yang berbeda-beda (Nelson dalam Odea, 1996: 216, 217).
Kuncoro mengemukakan bahwa semua aktifitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.
Pokoknya emosi keagamaan menyebabkan sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan, atau gagasan gagasan yang biasanya tidak keramat, yang biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaan, sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat. Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu: sistem keyakinan; sistem upacara keagamaan; dan suatu umat yang menganut religi itu.
No comments:
Post a Comment