Bagaimanakah pandangan ulama Syafi’iyah dalam masalah menutup wajah atau bercadar? Mungkin artikel berikut agak sedikit berbeda dengan beberapa tulisan yang menyatakan bahwa madzhab Syafi’iyah mewajibkan cadar. Tulisan ringkas ini adalah faedah ilmu dari tulisan Syaikh ‘Amru bin ‘Abdul Mun’im Salim hafizhohullah dalam kitab beliau Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menegaskan dalam Al Umm (1/109) mengenai pendapat beliau,
وكل المرأة عورة إلا كفيها ووجهها
“Dan setiap wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajahnya.”
Inilah pendapat yang masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (3/169) mengatakan,
ان المشهور من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك الامة وعورة الحرة جميع بدنها الا الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد
“Pendapat yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad.”
Ibnul Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i dalam Al Awsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),
على المرأة أن تخمر في الصلاة جميع بدنها سوى وجهها وكفيها
“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya”.
Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim hafizhohullah mengatakan,
“Sungguh sangat aneh sebagian orang yang menukil dari ulama Syafi’iyah dalam masalah ini, tidak bisa membedakan antara dua hal:
- Melihat wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah (godaan). Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah.
- Hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di atas bahwa ulama Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat.
Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini sampai akhirnya rancu. Sehingga mereka pun mensyaratkan hal kedua di atas (hukum menyingkap wajah) selama aman dari fitnah. Ini jelas keliru karena telah mencampur adukkan dua hukum di atas.
Seperti kita contohkan lainnya, beda antara hukum suara wanita aurat ataukah bukan dengan hukum wanita memberi salam pada laki-laki boleh ataukah tidak. Suara wanita bukanlah aurat sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih. Sedangkan memberi salam pada laki-laki itu disyaratkan boleh selama aman dari fitnah.” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, 192-193)
Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim setelah menjelaskan seperti di atas, beliau berkata,
“Kesimpulannya, penyandaran suatu perkataan kepada salah satu ulama, itu adalah kesimpulan dari penulisnya atau karena ada pertanyaan mengenai hal itu, atau dari berbagai kitab yang meneliti madzhab tersebut dan mu’tabar menurut para ulama. Oleh karena itu, janganlah ambil perkataan dari ulama madzhab yang belakangan kecuali jika tidak ditemukan ulama terdahulu. Juga harus jadi point penting yang mesti diperhatikan adalah perbedaan antara hukum dalam suatu masalah dan hukum turunan dari masalah tersebut. Wallahu waliyyut taufiq.”
Di awal bahasan mengenai penelitian Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim terhadap pendapat ulama madzhab dalam hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, beliau berkata,
“Setelah jelas bahwa pendapat terkuat (dari dalil-dalil yang ada) adalah bolehnya menyingkap wajah dan telapak tangan serta keduanya bukanlah termasuk aurat, maka suatu yang amat bagus jika kami dapat mengetengahkan perkataan ulama madzhab yang mu’tabar dalam masalah ini. [Setelah itu Syaikh ‘Amru menyebutkan pendapat ulama madzhab mulai dari madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pen].
Namun sebelum terjun melihat pendapat ulama madzhab tersebut, wajib bagi saya untuk menjelaskan realita yang terjadi pada beberapa penulis yang mengangkat masalah ini, yaitu mereka berkesimpulan bahwa ulama madzhab melarang menyingkap wajah dan telapak tangan. Padahal mereka tidak mencek and ricek lagi terhadap pendapat ulama madzhab terdahulu (bukan ulama madzhab belakangan) dalam masalah tersebut. Mereka pun tidak berusaha menukil dari kitab ulama madzhab terdahulu yang jadi sandaran dalam masalah tadi. Perkataan yang mereka angkat hanyalah perkataan ulama madzhab belakangan. Lalu mereka menjadikan syarat yang ‘ajiib yang tidak pernah ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka membuat syarat “selama aman dari fitnah”. Padahal syarat tersebut berkaitan dengan memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita. Syarat “selama aman dari fitnah” tidak berkaitan dengan hukum menyingkap wajah dan telapak tangan.” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, 188)
Catatan: Dalam madzhab Syafi’i jika dikatakan pendapat yang masyhur berarti adalah pendapat di kalangan ulama madzhab (bukan pendapat Imam Syafi’i) dan merupakan pendapat yang lebih tersohor, namun ada pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang dalilnya juga kuat. Artinya ada sebagian ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat bahwa menutup wajah itu wajib dan dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi, pendapat yang menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan selain wajah dan telapak tangan merupakan pendapat yang lebih tersohor di madzhab Syafi’iyah.
Yang dapat kami simpulkan. Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah terdahulu dan belakangan. Ada ulama Syafi’iyah yang membedakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, ini berlaku dalam shalat. Sedangkan aurat di luar shalat adalah seluruh badan termasuk wajah dan telapak tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh ‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam Nawawi) memutlakkan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Juga perhatikan beda antara hukum memandang wajah wanita dan hukum menyingkap wajah. Dua hal ini adalah dua hal yang berbeda.
Semoga sajian ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Wallahu a’lam.
Referensi:
Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub [sesuai cetakan]
Al Umm, Imam Asy Syafi’i, Mawqi’ Ya’sub [sesuai cetakan]
Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah, ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim, terbitan Maktabah Al Iman, cetakan pertama, 1420 H.
No comments:
Post a Comment