Dalam konteks tuntutan transparansi, banyak kalangan mulai meragukan, keterbukaan informasi publik dapat terbangun cepat di tengah lanskap birokrasi yang terpengaruh kultur Jawa
JAWA memang luar biasa. Sampai pada masa Orba kebudayaan Jawa telah menemukan mometumnya sebagai kebudayaan yang paling berpengaruh. Ia berhasil menjadi kebudayaan dominan yang mewarnai seluruh sendi kehidupan kita. Bahkan identitas keindonesiaan kita juga terbentuk karena pengaruh kultur jawa. Penulis bisa menyebut beberapa aspek untuk menunjukkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa.
Di dunia media misalnya, Jawa berhasil membesut aktivitas jurnalisme (nasional dan lokal) kita di dua level: teknik dan etik. Di level teknik yang menyangkut cara bagaimana jurnalis mulai mencari berita, mewawancarai, menulis, dan memilih kata-kata, dengan jelas telah dipengaruhi kultur Jawa. Di bagian ini sampai muncul istilah kramanisasi bahasa sebagai konsep untuk menggambarkan bagaimana nilai-nilai kejawaan telah tertanam kuat di ranah jurnalisme kita.
Begitupun di dunia pemerintahan atau birokrasi kita, Jawa telah berhasil mem-frame organisasi birokrasi kita menjadi memiliki kulturnya sendiri. Bayangkan, bagaimana kepala daerah sampai dipanggil Bapak oleh bawahannya, dan kenapa tidak dipanggil Pak gubernur, Pak bupati. Staf pribadinya selalu menyebut Bapak saweg tindak, Bapak saweg sibuk untuk menjelaskan kepada tamu yang ingin menemuinya. Uniknya, kebiasaan semacam itu telah menasional menjadi identitas organisasi birokrasi kita. Jawa telah mereinkarnasi menjadi kultur dominan yang mengarahkan budaya organisasi birokrasi menjadi sangat njawani.
Karena itu kemudian banyak tuduhan yang dialamatkan kepada organisasi birokrasi kita yang dilabel: sangat lambat, inefficient, feodalistik, paternalistik, eksklusif, padat karya, padat KKN, dan lain-lain. Dalam konteks tuntutan transparansi, banyak kalangan mulai meragukan, keterbukaan informasi publik dapat terbangun dengan cepat di tengah lanskap birokrasi yang telah terpengaruh kultur Jawa ini. Bagaimana mungkin nilai-nilai transparansi dapat tertanam dengan baik menjadi semacam etos (watak dan sikap) serta worldview kalau elite birokrasi kita sudah terpola menjadi sangat njawani?
Itu kira-kira pandangan yang datang dari kaum yang skeptis terhadap tuntutan transparansi yang menganggap seolah-olah percuma atas seluruh peraturan yang telah disusun bila tidak diimbangi dengan perubahan skema budaya di kalangan elite birokrasi kita secara masif. Aspek regulasi yang telah disiapkan seakan-akan menjadi tak berdaya bila dihadapkan pada portal besar yang mengadang gerak transparansi itu, berupa kultur organisasi birokrasi jawa itu. Benarkah demikian?
Selamat Tinggal
Transparansi memang telah menjadi realitas sosial. Sejak UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ditetapkan pada April 2008, secara nasional kita telah menyatakan selamat tinggal era ketertutupan, dan selamat datang keterbukaan.
Indonesia menjadi bagian dari negara kelima di Asia, setelah India dan Thailand yang telah mendeklarasikan sebagai negara yang protransparansi. Hak warga berupa hak untuk tahu (right to know), hak berpendapat, hak mendapatkan salinan dokumen informasi, hak menghadiri pertemuan umum, dan hak mendiseminasikan informasi, telah dijamin oleh UU itu dalam kerangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN.
UU ini menjadi jawaban atas semua tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah pada pola pemerintahan milik rakyat (governance belong to people) sebagai konsekuensi dari dipilihnya kepala pemerintahan dan anggota dewan secara langsung. Suatu penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada prinsip accountability, equality, dan sense of public respons.
Dalam konteks itu, pemerintah dan badan publik (negara dan bukan negara), dituntut dapat memenuhi kewajiban: menyediakan dan memberikan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan yang berada di bawah kewenangannya; serta membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi secara baik dan efisien sehingga dapat diakses publik dengan mudah.
Selain itu terhadap informasi yang dikecualikan, badan publik diwajibkan melakukan uji konsekuensi bahayaterhadap semua dokumen informasi yang dipersepsi rahasia untuk menjawab pertanyaan, benarkah menutup informasi itu lebih baik daripada membukanya karena dapat membahayakan aspek: (1) pertahanan dan keamanan negara; (2) proses penegakan hukum; (3) perlindungan hak kekayaan intelektual dan persaingan usaha; (4) kekayaan alam; (5) ketahanan ekonomi nasional; (6) kepentingan hubungan luar negeri; (7) perlindungan privasi dan wasiat; (8) memo atau surat intra dan antar badan publik yang menurut sifatnya dikecualikan; dan (9) semua informasi yang dilarang untuk diungkap berdasarkan UU lain.
Bukan hanya itu, badan publik juga diwajibkan dapat meununjukkan pertimbangan atas kepentingan publik terhadap semua informasi yang dirahasiakan bahwa menutup informasi jauh lebih berharga daripada membukanya untuk menjaga kepentingan publik yang lebih luas.
Singkat kata, semuanya itu, dan hal lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelayanan informasi publik akan diatur dalam juklak dan juknis standar pelayanan informasi publik yang ditetapkan Komisi Informasi. Masalahnya adalah benarkah ada jaminan setelah semua peraturan turunan disusun, lantas semua badan publik dapat melaksanakannya dengan baik? Sementara ada dugaan, kultur birokrasi kita telah terpenetrasi oleh kultur Jawa. (10)
— Amirudin, anggota Komisi Informasi Pusat, sedang menempuh S3 Antropologi FISIP UI
JAWA memang luar biasa. Sampai pada masa Orba kebudayaan Jawa telah menemukan mometumnya sebagai kebudayaan yang paling berpengaruh. Ia berhasil menjadi kebudayaan dominan yang mewarnai seluruh sendi kehidupan kita. Bahkan identitas keindonesiaan kita juga terbentuk karena pengaruh kultur jawa. Penulis bisa menyebut beberapa aspek untuk menunjukkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa.
Di dunia media misalnya, Jawa berhasil membesut aktivitas jurnalisme (nasional dan lokal) kita di dua level: teknik dan etik. Di level teknik yang menyangkut cara bagaimana jurnalis mulai mencari berita, mewawancarai, menulis, dan memilih kata-kata, dengan jelas telah dipengaruhi kultur Jawa. Di bagian ini sampai muncul istilah kramanisasi bahasa sebagai konsep untuk menggambarkan bagaimana nilai-nilai kejawaan telah tertanam kuat di ranah jurnalisme kita.
Begitupun di dunia pemerintahan atau birokrasi kita, Jawa telah berhasil mem-frame organisasi birokrasi kita menjadi memiliki kulturnya sendiri. Bayangkan, bagaimana kepala daerah sampai dipanggil Bapak oleh bawahannya, dan kenapa tidak dipanggil Pak gubernur, Pak bupati. Staf pribadinya selalu menyebut Bapak saweg tindak, Bapak saweg sibuk untuk menjelaskan kepada tamu yang ingin menemuinya. Uniknya, kebiasaan semacam itu telah menasional menjadi identitas organisasi birokrasi kita. Jawa telah mereinkarnasi menjadi kultur dominan yang mengarahkan budaya organisasi birokrasi menjadi sangat njawani.
Karena itu kemudian banyak tuduhan yang dialamatkan kepada organisasi birokrasi kita yang dilabel: sangat lambat, inefficient, feodalistik, paternalistik, eksklusif, padat karya, padat KKN, dan lain-lain. Dalam konteks tuntutan transparansi, banyak kalangan mulai meragukan, keterbukaan informasi publik dapat terbangun dengan cepat di tengah lanskap birokrasi yang telah terpengaruh kultur Jawa ini. Bagaimana mungkin nilai-nilai transparansi dapat tertanam dengan baik menjadi semacam etos (watak dan sikap) serta worldview kalau elite birokrasi kita sudah terpola menjadi sangat njawani?
Itu kira-kira pandangan yang datang dari kaum yang skeptis terhadap tuntutan transparansi yang menganggap seolah-olah percuma atas seluruh peraturan yang telah disusun bila tidak diimbangi dengan perubahan skema budaya di kalangan elite birokrasi kita secara masif. Aspek regulasi yang telah disiapkan seakan-akan menjadi tak berdaya bila dihadapkan pada portal besar yang mengadang gerak transparansi itu, berupa kultur organisasi birokrasi jawa itu. Benarkah demikian?
Selamat Tinggal
Transparansi memang telah menjadi realitas sosial. Sejak UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ditetapkan pada April 2008, secara nasional kita telah menyatakan selamat tinggal era ketertutupan, dan selamat datang keterbukaan.
Indonesia menjadi bagian dari negara kelima di Asia, setelah India dan Thailand yang telah mendeklarasikan sebagai negara yang protransparansi. Hak warga berupa hak untuk tahu (right to know), hak berpendapat, hak mendapatkan salinan dokumen informasi, hak menghadiri pertemuan umum, dan hak mendiseminasikan informasi, telah dijamin oleh UU itu dalam kerangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN.
UU ini menjadi jawaban atas semua tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah pada pola pemerintahan milik rakyat (governance belong to people) sebagai konsekuensi dari dipilihnya kepala pemerintahan dan anggota dewan secara langsung. Suatu penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pada prinsip accountability, equality, dan sense of public respons.
Dalam konteks itu, pemerintah dan badan publik (negara dan bukan negara), dituntut dapat memenuhi kewajiban: menyediakan dan memberikan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan yang berada di bawah kewenangannya; serta membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi secara baik dan efisien sehingga dapat diakses publik dengan mudah.
Selain itu terhadap informasi yang dikecualikan, badan publik diwajibkan melakukan uji konsekuensi bahayaterhadap semua dokumen informasi yang dipersepsi rahasia untuk menjawab pertanyaan, benarkah menutup informasi itu lebih baik daripada membukanya karena dapat membahayakan aspek: (1) pertahanan dan keamanan negara; (2) proses penegakan hukum; (3) perlindungan hak kekayaan intelektual dan persaingan usaha; (4) kekayaan alam; (5) ketahanan ekonomi nasional; (6) kepentingan hubungan luar negeri; (7) perlindungan privasi dan wasiat; (8) memo atau surat intra dan antar badan publik yang menurut sifatnya dikecualikan; dan (9) semua informasi yang dilarang untuk diungkap berdasarkan UU lain.
Bukan hanya itu, badan publik juga diwajibkan dapat meununjukkan pertimbangan atas kepentingan publik terhadap semua informasi yang dirahasiakan bahwa menutup informasi jauh lebih berharga daripada membukanya untuk menjaga kepentingan publik yang lebih luas.
Singkat kata, semuanya itu, dan hal lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelayanan informasi publik akan diatur dalam juklak dan juknis standar pelayanan informasi publik yang ditetapkan Komisi Informasi. Masalahnya adalah benarkah ada jaminan setelah semua peraturan turunan disusun, lantas semua badan publik dapat melaksanakannya dengan baik? Sementara ada dugaan, kultur birokrasi kita telah terpenetrasi oleh kultur Jawa. (10)
— Amirudin, anggota Komisi Informasi Pusat, sedang menempuh S3 Antropologi FISIP UI
No comments:
Post a Comment