--> DOCUMENT MASNET QUR'AN

punggung

 
Pangeran Punggung Lebar dan Putri Kursi Roda
 
Aku mengingatnya kembali. Sore itu dengan buku hitam berisikan kumpulan puisi tulisan tangannya.  Aku diam, tak tertawa, tak menangis. Teringat, tak ada lagi suara mengalunkan sebuah “puisi” yang biasanya menemani malam panjang ku dikamar. Tak ada lagi kata-kata penyemangat yang selalu dilontarkan sebelum aku tenggelam dalam keheningan malam. Dan tak akan terdengar lagi tawanya.
Dan aku tak bisa berbuat apa-apa untuk nya, karena aku, Libby sigadis cacat dengan kedua kaki lumpuh lahir kedunia melalui 2 orang manusia yang paling sangat mencintai ku dan menerima semua ketidaksempurnaan untuk hidup lebih lama didunia. Rumah ku yang yang selalu ku sebut istana begitu indah untuk seorang aku,  Ayah dan Ibu ku bagai Raja dan Ratu yang bijaksana, memanja ku dengan kasih yang berlimpah. Dan aku bagai seorang putri cacat dengan kursi roda putih yang selalu berharap kelak akan datang seorang pangerang dengan punggung yang lebar bukan dengan kuda putihnya, yang akan menggendong ku dipunggung nya membawa ku berlari dari istana megah ini.
Aku bukan satu-satunya sigadis cacat yang dapat menikmati keindahan dunia ini. Tapi mungkin aku adalah satu-satunya sigadis cacat yang mengenal dia “sipangerang punggung lebar”, itu panggilannya dari ku. Dia lelaki yang ku kenal lewat cara yang tak biasa, aku menganggumi setiap puisi-pusinya dan akhirnya waktu itu mempertemukan kita. Dia sipangerang yang menggedong ku lalu meletakan ku dipunggung lebarnya membawa ku berlari keluar dari istana megah ini. Dia satu-satunya pangerang yang bilang “kaki ku indah” ketika semua orang menghina ku karena aku tak dapat berjalan. Masih teringat katanya “Kau si Putri kursi roda paling cantik di dunia”. Hanya saja saat itu aku marah padanya, dan kata-kata hanyalah sebuah hiburan untuk ku, pikirku.
Tiga bulan setelah aku mengenalnya ibu bilang “Dia bukan lelaki yang baik untuk mu nak, suatu saat dia akan menyakitimu dan ibu tak mau itu terjadi pada mu”. Aku tak perduli dengan ucapan ibu, ibu tak mengenal dia, ibu tak pernah berbicara dengannya bahkan ibu tak tau siapa namanya. Kemudian ayahku pernah bilang “Lelaki yang pantas untuk mu adalah lelaki yang akan membuatmu selalu tertawa ketika dunia sedang membuat mu menangis” Aku pikir ayah menyukainya, karena ayah tau aku tak pernah lagi menangis sejak mengenalnya.
‘KU INGIN ENGKAU TAHU’
Aku…
Manusia egois yang pernah kukenal
Tak akan mampu kehilangan
Seakan semua tergenggam
Aku…
Manusia yang tiada pernah berarti
Tanpa balok penyanggah ketiadaan
Seakan semua terlewati
Aku…
Manusia yang tak akan pernah mencinta
Seakan yang ada hanya angkara
Walaupun sudut mendera
Dan aku…
Akan tetap dihatimu
Walau memandang lebar dunia
Hanya engkau yang menjadi mimpiku
**
Dia, sipangerang punggung lebar, menjadi orang yang paling terdekat dengan ku, menjadi orang yang paling nyaman dengan ku, orang yang paling sering menggedong ku membawa ku berlari. Selalu dengan puisi-puisi dia bacakan untuk ku, selalu ada kata penyemangat dia lontarkan untuk ku dan dia tak pernah lupa merayuku setiap aku mengerutkan kening ku di setiap kali dia membuatku marah. Hari itu setelah setahun kita mengenal, untuk pertama kalinya dia membuatku menangis.

“mbak libby, ada surat untuk mbak”
ucap seorang lelaki tua.
Pak deni, supir sipangerang, datang membawa selembar kertas titipan sipangerang punggung lebar. Saat itu dia punya janji untuk menjemputku dan membawa ku memperkenalkan tempat yang paling dia sukai didunia. Aku sudah sangat siap menunggunya. Hari itu tepat jam 10 pagi ketika matahari begitu cantik menyapa dunia.
“bukankah seharusnya dia menjemput ku pak!” tanya ku sambil membuka kertas itu.
“Ikutlah dengan supir ku, dia akan membawa mu menemui ku. Jangan banyak pertanyaan. Aku sedang menunggu mu”
Itulah isi dari selembar kertas yang dia titipkan pada pak deni. Hanya sepenggal pesan. Aku pergi bersama pak deni, sepanjang perjalanan ku aku terus berpikir kejutan apa yang akan dia berikan untuk ku. Pak deni, memberhentikan ku disebuah rumah, rumah dengan tamannya yang begitu luas tepatnya rumah itu berada ditengah-tengah taman.
Rumah mungil dengan taman yang luas, ada danau kecil dibelakang rumah,  rumah yang aku impikan, kelak nanti aku hidup dengan suami dan anak-anak yang cantik dan menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Impian ini yang selalu aku ceritakan pada sipangerang punggung lebar ku.
Tak lama aku menatap rumah sembari berkhayal,  seorang wanita paruh baya, menuntun ku dengan kursi roda kedalam rumah mungil itu. Wanita itu mungkin seumuran dengan ibuku. Sebelumnya aku tak pernah mengenalnya. Tapi dia bilang kalau sipangerang punggung lebar sudah menunggu ku. Dia membawa ku menuju satu ruang, dia membawaku masuk ke ruang itu. Aku menemukan sipangerang punggung lebar ku berbaring lemah di ranjangnya, aku masih ingat jelas, matanya yang sembab, wajahnya yang pucat, dengan senyum yang seolah-olah dia sedang menahan rasa sakit.

“ibu bisa kah kau membantu ku? aku ingin duduk, aku sudah lelah dari tadi hanya berbaring saja”
ujarnya pada ibunya.
Sejenak aku melahirkan sejuta tanya dengan sikapnya. Kenapa dengan dia? Kenapa dia harus meminta bantuan saat ingin duduk? Bukankah dia bisa melakukannya sendiri? Bukankah dia begitu kuat untuk melakukannya sendiri? Dia begitu kuat menggendong dan membawa ku berlari berjam-jam tapi kenapa hanya sekedar ingin duduk, dia meminta bantuan? Kenapa dia begitu lemah?
“Hari ini, kamu terlihat sangat cantik, kamu memang pantas dipanggil putri, putri kursi roda yang cantik” katanya dengan sangat lemah.
“ada apa dengan mu? kenapa kamu ada disini? bukan kah kamu ingin membawa ku melihat tempat yang paling indah itu? tanya ku dengan kesal.
” Bukan kah aku memintamu untuk tidak banyak bertanya? ujarnya.
“nanti aku akan membawa ketempat itu, hanya sekedar melihat saja, skarang biarkan aku berbicara”Lalu dia lanjut berbicara, dengan sesekali menarik nafas dan mengerutkan wajahnya seperti menahan rasa sakit.
“Dia ibu ku. Wanita yang paling baik didunia ini tapi dia wanita yang paling menderita di dunia ini, setiap hari dia menangis karna ayahku dan sekarang aku membuatnya menangis lagi”Lanjutnya lagi, dengan nada suara yang mulai terdengar pelan dan lambat. Dan aku tetap diam mendengarkannya.
“Ayah, pria yang sangat membenci ku. Aku bukan  anaknya, itu yang sering dia bilang.  Dia sangat ingin aku pergi dari hidupnya, tapi ibu sangat mencintaiku, dia ingin aku tetap ada disini. Ayah, seorang pecandu, dia pernah membawa perempuan lain dan bercinta didepan ibu, sewaktu aku masih SMP.  Ayah, akhirnya  mengidap HIV/AIDS. Dia menularkan itu pada ku, dia ingin aku mati. Sudah 3 tahun, Aku menjadi lelaki pengidap HIV/AIDS”Itu membuat aku sangat terkejut. Aku tak bisa menahan tangisku saat dia menceritakan semuanya. Hari ini dia begitu lemah. Dia selalu hadirkan tawa setiap aku malu dengan ketidaksempurnaanku, dia selalu ajarkan aku jadi wanita yang tegar setiap kali aku mengeluh, dia selalu merayu ku saat aku mengerutkan wajah sampai aku tertawa lebar karna leluconnya. Tapi aku, aku yang tak pernah tau deritanya, sakitnya, aku yang tak pernah tau bahwa dia lebih membutuhkan kebahagian itu dari aku.
“liby, aku tau, semuanya ini pasti akan membuatmu kecewa. Aku tak perduli bila akhirnya kau membenci ku, aku tak ingin membohongi mu lebih lama lagi” ujarnya tiba-tiba.
Aku adalah manusia jahat bila membencinya karna ini semua. Aku adalah manusia egois bila meninggalkannya karna kelemahannya. Dia sangat membutuhkan ku meskipun aku bukanlah manusia yang sempurna yang bisa menolongnya. Dia, lelaki yang baik seperti yang ayah bilang. Dia selalu membuat aku tertawa, dia selalu ada meskipun dia sendiri jauh lebih menderita dari ku.
***
Aku masih ingat dengan baik, waktu itu tepat Jam 4 sore setelah 3 hari dia menceritakan sakitnya pada ku, ibunya menelpon ku, meminta ku untuk datang. Pangerang ku kini sudah jauh lebih baik, bahkan sekarang dia sudah sanggup berdiri dan berjalan tanpa bantuan, itu kata ibunya. Aku sangat senang mendengarnya, ayah menyuruh supir untuk mengantarku. Sampai disana, ibunya menolong ku turun dari mobil, wajahnya terlihat lebih cerah dari hari kemarin, dengan sabar dia mendorong kursi roda ku, membawa ku pada pangerang ku.
Disana, aku melihat pangerang ku berdiri ditepi danau kecil, ya tepatnya dibelakang rumah mungil itu. Seperti impian ku, sebuah danau, airnya yang tenang, rumput-rumput hijau bergoyang lambai dan sebuah kursi bertengger ditengah taman. Wah, itu tempat yang sungguh indah, itu yang selalu terucap dari bibir ku, aku tak berhenti berucap takjub.
Ibunya meninggalkan ku, pangerang ku terlihat sangat baik, dia sangat baik bahkan dia menggendongku dipunggung lebarnya itu. Dia sudah kembali seperti dulu, dia sudah kuat menggendong ku. Dia membawa ku melihat semuanya sambil sesekali bercerita. Dulu ayahnya sering membawanya kedanau itu, menemaninya bermain, ayahnya seorang penulis puisi, setidaknya itu yang ayahnya wariskan padanya.
“Ayah bisa duduk berjam-jam dibangku itu untuk melahirkan puisi-puisi yang bagus. Setelah itu ayah akan membacakannya pada ku, puisinya penuh kedamaian. Itu sebabnya aku ingin sekali seperti dia” ceritanya dengan bahagia.
“Hari ini, seperti hari pertama kau menggendong ku membawa ku keluar dari rumahku. Rasanya sungguh aneh, ada bahagia, gemetaran dan malu. Itu pertama kalinya pria asing menggendong ku dipunggungnya, takut-takut kau tak tahan menggendong ku. Tapi waktu itu aku tak perduli bila dipertengahan kau menjatuhkan ku, karna waktu itu aku sangat bahagia sama seperti hari ini, aku sangat bahagia” ungkap ku dengan sangat bahagia.
Tak lama dia menurunkan ku dibangku itu, mungkin saat itu dia sudah sangat lelah menggendong ku.
Hari semakin senja, matahari perlahan-lahan mulai tenggelam, pemandangannya semakin cantik ku rasa.
Tiba-tiba dia menggengam erat tangan ku sangat erat, dia meletak kepala ku dibahunya, bahunya pun terasa sangat hangat, begitu sangat hangat disampingnya. Sesekali dia menarik nafasnya, dan membuangnya secara perlahan.
“Libby, aku sungguhlah lelaki yang tidak sempurna. Tapi mungkin aku lelaki yang beruntung, aku bisa mengenal gadis yang paling sempurna, putri kursi roda” ucapnya dengan lembut.
Kali ini, genggaman itu tak terasa erat. Tangannya hanya seperti menyentuh tangan ku.

“Libby, waktu semakin singkat untuk ku. Berjanjilah kamu tak akan menangis, berjanjilah untuk ku. Berjanjilah kau akan tetap jadi putri kursi roda yang ku sayang”
Kali ini yang kurasa, tangannya tak lagi menyentuhku. Kenapa dia tak lagi hangat kurasa, kenapa dia seakan tak disamping ku?
Jujur…
Aku tak mampu tegak disini
Hanya andaikan saja berdiri adalah kemampuanku
Tanpa mampu menunduk sekedar mengakui binalnya aku
Hanya saja
Aku bukan tak bertuan
Nyawa juga aku punya
Hanya harga diri dan hati nurani tiada
Keji aku membantai setiap kata
Melumat setiap makna
Hingga membunuh segala asa
Aku bukan tak berbudi
Pekerti juga aku ada
Hanya arah yang tiada laju
Diam selalu menghantui
Menandai raibnya aku bagi mereka
Seakan disinilah aku akan mati
“Ayah, kenapa hatiku seperti tidak ditempatnya, dan kenapa tubuhku serasa kosong melompong? Ayah kenapa aku sangat ingin sekali menangis, Ayah kenapa airmata ini tak dapat ku tahan? Ayah, dia lelaki yang selalu buat ku tertawa, kenapa sekarang dia membuat ku menangis?”
Aku terus berucap dalam hati, aku terus saja menangis, tenggelam rasanya aku bersama matahari sore itu, menenggelamkan ku dengan tangis ku.
Kini, aku kembali lagi ke taman itu, ku lihat namanya terukir di situ, 2 makam dengan hiasan bunga mawar putih, namun yang satu tanahnya masih merah dan basah. Bibirku gemetar dan napasku tersengal. Aku teringat ketika dia bilang itu adalah tempat yang indah dan akan semakin indah karna kelak dia akan berjumpa dengan ayah. Ayah akan mengajaknya bermain lagi ditepi danau itu.
Pangerang ku, tenang lah selalu disana, kini  kau sudah berjumpa dengan ayah. Aku berjanji aku akan jadi si Putri kursi roda yang selalu tersenyum.
Mungkin orang lain pernah berucap
bahwa ia takkan bisa hidup tanpamu di sisinya.
Tapi aku akan bertahan hidup walaupun kamu tak disisiku.
karena kamu selalu ada didalam hatiku
meski sekali waktu nanti
mataku kan tertutup dan jiwaku terpisah dengan ragaku.
Tapi aku.. akan tetap melihatmu
karena kamu selalu dihatiku

No comments:

Post a Comment