Aku  mengingatnya kembali. Sore itu dengan buku hitam berisikan kumpulan  puisi tulisan tangannya.  Aku diam, tak tertawa, tak menangis. Teringat,  tak ada lagi suara mengalunkan sebuah “puisi” yang biasanya menemani  malam panjang ku dikamar. Tak ada lagi kata-kata penyemangat yang selalu  dilontarkan sebelum aku tenggelam dalam keheningan malam. Dan tak akan  terdengar lagi tawanya.
Dan aku tak bisa berbuat apa-apa untuk  nya, karena aku, Libby sigadis cacat dengan kedua kaki lumpuh lahir  kedunia melalui 2 orang manusia yang paling sangat mencintai ku dan  menerima semua ketidaksempurnaan untuk hidup lebih lama didunia. Rumah  ku yang yang selalu ku sebut istana begitu indah untuk seorang aku,   Ayah dan Ibu ku bagai Raja dan Ratu yang bijaksana, memanja ku dengan  kasih yang berlimpah. Dan aku bagai seorang putri cacat dengan kursi  roda putih yang selalu berharap kelak akan datang seorang pangerang  dengan punggung yang lebar bukan dengan kuda putihnya, yang akan  menggendong ku dipunggung nya membawa ku berlari dari istana megah ini.
Aku  bukan satu-satunya sigadis cacat yang dapat menikmati keindahan dunia  ini. Tapi mungkin aku adalah satu-satunya sigadis cacat yang mengenal  dia “sipangerang punggung lebar”, itu panggilannya dari ku. Dia lelaki  yang ku kenal lewat cara yang tak biasa, aku menganggumi setiap  puisi-pusinya dan akhirnya waktu itu mempertemukan kita. Dia sipangerang  yang menggedong ku lalu meletakan ku dipunggung lebarnya membawa ku  berlari keluar dari istana megah ini. Dia satu-satunya pangerang yang  bilang “kaki ku indah” ketika semua orang menghina ku karena aku tak  dapat berjalan. Masih teringat katanya “Kau si Putri kursi roda paling  cantik di dunia”. Hanya saja saat itu aku marah padanya, dan kata-kata  hanyalah sebuah hiburan untuk ku, pikirku.
Tiga bulan setelah  aku mengenalnya ibu bilang “Dia bukan lelaki yang baik untuk mu nak,  suatu saat dia akan menyakitimu dan ibu tak mau itu terjadi pada mu”.  Aku tak perduli dengan ucapan ibu, ibu tak mengenal dia, ibu tak pernah  berbicara dengannya bahkan ibu tak tau siapa namanya. Kemudian ayahku  pernah bilang “Lelaki yang pantas untuk mu adalah lelaki yang akan  membuatmu selalu tertawa ketika dunia sedang membuat mu menangis” Aku  pikir ayah menyukainya, karena ayah tau aku tak pernah lagi menangis  sejak mengenalnya.
‘KU INGIN ENGKAU TAHU’ 
Aku…
Manusia egois yang pernah kukenal
Tak akan mampu kehilangan
Seakan semua tergenggam
Aku…
Manusia yang tiada pernah berarti
Tanpa balok penyanggah ketiadaan
Seakan semua terlewati
Aku…
Manusia yang tak akan pernah mencinta
Seakan yang ada hanya angkara
Walaupun sudut mendera
Dan aku…
Akan tetap dihatimu
Walau memandang lebar dunia
Hanya engkau yang menjadi mimpiku
**
Dia,  sipangerang punggung lebar, menjadi orang yang paling terdekat dengan  ku, menjadi orang yang paling nyaman dengan ku, orang yang paling sering  menggedong ku membawa ku berlari. Selalu dengan puisi-puisi dia bacakan  untuk ku, selalu ada kata penyemangat dia lontarkan untuk ku dan dia  tak pernah lupa merayuku setiap aku mengerutkan kening ku di setiap kali  dia membuatku marah. Hari itu setelah setahun kita mengenal, untuk  pertama kalinya dia membuatku menangis.
“mbak libby, ada surat untuk mbak” ucap seorang lelaki tua.
Pak  deni, supir sipangerang, datang membawa selembar kertas titipan  sipangerang punggung lebar. Saat itu dia punya janji untuk menjemputku  dan membawa ku memperkenalkan tempat yang paling dia sukai didunia. Aku  sudah sangat siap menunggunya. Hari itu tepat jam 10 pagi ketika  matahari begitu cantik menyapa dunia.
“bukankah seharusnya dia menjemput ku pak!” tanya ku sambil membuka kertas itu.
“Ikutlah dengan supir ku, dia akan membawa mu menemui ku. Jangan banyak pertanyaan. Aku sedang menunggu mu”
Itulah  isi dari selembar kertas yang dia titipkan pada pak deni. Hanya  sepenggal pesan. Aku pergi bersama pak deni, sepanjang perjalanan ku aku  terus berpikir kejutan apa yang akan dia berikan untuk ku. Pak deni,  memberhentikan ku disebuah rumah, rumah dengan tamannya yang begitu luas  tepatnya rumah itu berada ditengah-tengah taman.
Rumah mungil  dengan taman yang luas, ada danau kecil dibelakang rumah,  rumah yang  aku impikan, kelak nanti aku hidup dengan suami dan anak-anak yang  cantik dan menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Impian ini yang selalu  aku ceritakan pada sipangerang punggung lebar ku.
Tak lama aku  menatap rumah sembari berkhayal,  seorang wanita paruh baya, menuntun  ku dengan kursi roda kedalam rumah mungil itu. Wanita itu mungkin  seumuran dengan ibuku. Sebelumnya aku tak pernah mengenalnya. Tapi dia  bilang kalau sipangerang punggung lebar sudah menunggu ku. Dia membawa  ku menuju satu ruang, dia membawaku masuk ke ruang itu. Aku menemukan  sipangerang punggung lebar ku berbaring lemah di ranjangnya, aku masih  ingat jelas, matanya yang sembab, wajahnya yang pucat, dengan senyum  yang seolah-olah dia sedang menahan rasa sakit.
“ibu bisa kah kau membantu ku? aku ingin duduk, aku sudah lelah dari tadi hanya berbaring saja” ujarnya pada ibunya.
Sejenak  aku melahirkan sejuta tanya dengan sikapnya. Kenapa dengan dia? Kenapa  dia harus meminta bantuan saat ingin duduk? Bukankah dia bisa  melakukannya sendiri? Bukankah dia begitu kuat untuk melakukannya  sendiri? Dia begitu kuat menggendong dan membawa ku berlari berjam-jam  tapi kenapa hanya sekedar ingin duduk, dia meminta bantuan? Kenapa dia  begitu lemah?
“Hari ini, kamu terlihat sangat cantik, kamu memang pantas dipanggil putri, putri kursi roda yang cantik” katanya dengan sangat lemah.
“ada apa dengan mu? kenapa kamu ada disini? bukan kah kamu ingin membawa ku melihat tempat yang paling indah itu? tanya ku dengan kesal.
” Bukan kah aku memintamu untuk tidak banyak bertanya? ujarnya.
“nanti aku akan membawa ketempat itu, hanya sekedar melihat saja, skarang biarkan aku berbicara”Lalu dia lanjut berbicara, dengan sesekali menarik nafas dan mengerutkan wajahnya seperti menahan rasa sakit.
“Dia  ibu ku. Wanita yang paling baik didunia ini tapi dia wanita yang paling  menderita di dunia ini, setiap hari dia menangis karna ayahku dan  sekarang aku membuatnya menangis lagi”Lanjutnya lagi, dengan nada suara yang mulai terdengar pelan dan lambat. Dan aku tetap diam mendengarkannya.
“Ayah,  pria yang sangat membenci ku. Aku bukan  anaknya, itu yang sering dia  bilang.  Dia sangat ingin aku pergi dari hidupnya, tapi ibu sangat  mencintaiku, dia ingin aku tetap ada disini. Ayah, seorang pecandu, dia  pernah membawa perempuan lain dan bercinta didepan ibu, sewaktu aku  masih SMP.  Ayah, akhirnya  mengidap HIV/AIDS. Dia menularkan itu pada  ku, dia ingin aku mati. Sudah 3 tahun, Aku menjadi lelaki pengidap  HIV/AIDS”Itu membuat aku sangat terkejut. Aku tak bisa menahan  tangisku saat dia menceritakan semuanya. Hari ini dia begitu lemah. Dia  selalu hadirkan tawa setiap aku malu dengan ketidaksempurnaanku, dia  selalu ajarkan aku jadi wanita yang tegar setiap kali aku mengeluh, dia  selalu merayu ku saat aku mengerutkan wajah sampai aku tertawa lebar  karna leluconnya. Tapi aku, aku yang tak pernah tau deritanya, sakitnya,  aku yang tak pernah tau bahwa dia lebih membutuhkan kebahagian itu dari  aku.
“liby, aku tau, semuanya  ini pasti akan membuatmu kecewa. Aku tak perduli bila akhirnya kau  membenci ku, aku tak ingin membohongi mu lebih lama lagi” ujarnya tiba-tiba.
Aku  adalah manusia jahat bila membencinya karna ini semua. Aku adalah  manusia egois bila meninggalkannya karna kelemahannya. Dia sangat  membutuhkan ku meskipun aku bukanlah manusia yang sempurna yang bisa  menolongnya. Dia, lelaki yang baik seperti yang ayah bilang. Dia selalu  membuat aku tertawa, dia selalu ada meskipun dia sendiri jauh lebih  menderita dari ku.
***
Aku  masih ingat dengan baik, waktu itu tepat Jam 4 sore setelah 3 hari dia  menceritakan sakitnya pada ku, ibunya menelpon ku, meminta ku untuk  datang. Pangerang ku kini sudah jauh lebih baik, bahkan sekarang dia  sudah sanggup berdiri dan berjalan tanpa bantuan, itu kata ibunya. Aku  sangat senang mendengarnya, ayah menyuruh supir untuk mengantarku.  Sampai disana, ibunya menolong ku turun dari mobil, wajahnya terlihat  lebih cerah dari hari kemarin, dengan sabar dia mendorong kursi roda ku,  membawa ku pada pangerang ku.
Disana,  aku melihat pangerang ku berdiri ditepi danau kecil, ya tepatnya  dibelakang rumah mungil itu. Seperti impian ku, sebuah danau, airnya  yang tenang, rumput-rumput hijau bergoyang lambai dan sebuah kursi  bertengger ditengah taman. Wah, itu tempat yang sungguh indah, itu yang  selalu terucap dari bibir ku, aku tak berhenti berucap takjub.
Ibunya  meninggalkan ku, pangerang ku terlihat sangat baik, dia sangat baik  bahkan dia menggendongku dipunggung lebarnya itu. Dia sudah kembali  seperti dulu, dia sudah kuat menggendong ku. Dia membawa ku melihat  semuanya sambil sesekali bercerita. Dulu ayahnya sering membawanya  kedanau itu, menemaninya bermain, ayahnya seorang penulis puisi,  setidaknya itu yang ayahnya wariskan padanya.
“Ayah  bisa duduk berjam-jam dibangku itu untuk melahirkan puisi-puisi yang  bagus. Setelah itu ayah akan membacakannya pada ku, puisinya penuh  kedamaian. Itu sebabnya aku ingin sekali seperti dia” ceritanya dengan bahagia.
“Hari  ini, seperti hari pertama kau menggendong ku membawa ku keluar dari  rumahku. Rasanya sungguh aneh, ada bahagia, gemetaran dan malu. Itu  pertama kalinya pria asing menggendong ku dipunggungnya, takut-takut kau  tak tahan menggendong ku. Tapi waktu itu aku tak perduli bila  dipertengahan kau menjatuhkan ku, karna waktu itu aku sangat bahagia  sama seperti hari ini, aku sangat bahagia” ungkap ku dengan sangat bahagia.
Tak lama dia menurunkan ku dibangku itu, mungkin saat itu dia sudah sangat lelah menggendong ku.
Hari semakin senja, matahari perlahan-lahan mulai tenggelam, pemandangannya semakin cantik ku rasa.
Tiba-tiba  dia menggengam erat tangan ku sangat erat, dia meletak kepala ku  dibahunya, bahunya pun terasa sangat hangat, begitu sangat hangat  disampingnya. Sesekali dia menarik nafasnya, dan membuangnya secara  perlahan.
“Libby, aku sungguhlah  lelaki yang tidak sempurna. Tapi mungkin aku lelaki yang beruntung, aku  bisa mengenal gadis yang paling sempurna, putri kursi roda” ucapnya dengan lembut.
Kali ini, genggaman itu tak terasa erat. Tangannya hanya seperti menyentuh tangan ku.
“Libby, waktu semakin singkat untuk ku. Berjanjilah kamu tak akan menangis, berjanjilah untuk ku. Berjanjilah kau akan tetap jadi putri kursi roda yang ku sayang”
Kali ini yang kurasa, tangannya tak lagi menyentuhku. Kenapa dia tak lagi hangat kurasa, kenapa dia seakan tak disamping ku?
Jujur…
Aku tak mampu tegak disini
Hanya andaikan saja berdiri adalah kemampuanku
Tanpa mampu menunduk sekedar mengakui binalnya aku
Hanya saja
Aku bukan tak bertuan
Nyawa juga aku punya
Hanya harga diri dan hati nurani tiada
Keji aku membantai setiap kata
Melumat setiap makna
Hingga membunuh segala asa
Aku bukan tak berbudi
Pekerti juga aku ada
Hanya arah yang tiada laju
Diam selalu menghantui
Menandai raibnya aku bagi mereka
Seakan disinilah aku akan mati
“Ayah,  kenapa hatiku seperti tidak ditempatnya, dan kenapa tubuhku serasa  kosong melompong? Ayah kenapa aku sangat ingin sekali menangis, Ayah  kenapa airmata ini tak dapat ku tahan? Ayah, dia lelaki yang selalu buat  ku tertawa, kenapa sekarang dia membuat ku menangis?”
Aku  terus berucap dalam hati, aku terus saja menangis, tenggelam rasanya  aku bersama matahari sore itu, menenggelamkan ku dengan tangis ku.
Kini,  aku kembali lagi ke taman itu, ku lihat namanya terukir di situ, 2  makam dengan hiasan bunga mawar putih, namun yang satu tanahnya masih  merah dan basah. Bibirku gemetar dan napasku tersengal. Aku teringat  ketika dia bilang itu adalah tempat yang indah dan akan semakin indah  karna kelak dia akan berjumpa dengan ayah. Ayah akan mengajaknya bermain  lagi ditepi danau itu.
Pangerang ku, tenang lah selalu disana, kini  kau sudah berjumpa dengan ayah. Aku berjanji aku akan jadi si Putri kursi roda yang selalu tersenyum.
Mungkin orang lain pernah berucap
bahwa ia takkan bisa hidup tanpamu di sisinya.
Tapi aku akan bertahan hidup walaupun kamu tak disisiku.
karena kamu selalu ada didalam hatiku
meski sekali waktu nanti
mataku kan tertutup dan jiwaku terpisah dengan ragaku.
Tapi aku.. akan tetap melihatmu
karena kamu selalu dihatiku

No comments:
Post a Comment