Dalam konteks keraton, kewanitaanidentik dengan kelembutan, kehalusan, kesopanan, kepatuhan, dan lain-lain. Kesan memimpin, menuntut, ataumelawan menjadi tidak ada, karena bertentangan dengan kesan “kewanitaan” itu sendiri. Pada akhirnya, hal ini menjadi sebuah opini publik, di mana seorang wanita tidaklah pantas memimpin, memprotes ataupun melawan.
Dalam etimologi kultur Jawa pula, muncul pula persepsi bahwa “wanita” sebagai “wani ditoto”, atau yang bisa diterjemahkan secara langsung menjadi “harus tunduk” atau“harus mau diatur”. Sangat jelas terlihat bagaimana Jawa, sebagai tempat kelahiran Kartini saat itu pula, memang telah menganut paham “wanita di bawah pria” dengan sangat kental.
Lebih lanjut, dalam jargon yang banyak beredar, wanita diibaratkan sebagai barangdan bukan sebagai manusia, yakni ketika ia disandingkan menjadi salah satu dari 4barang klangenan (barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu, khususnya laki-laki – biasanya disebut dengan istilah “empat TA”) dalam kultur jawa, yakni harTA, senjaTA, tahTA, dan waniTA. Disejajarkan dengan harta, senjata dan tahta, wanita tidak ubahnya sekedar barang yang “dipakai” untuk memuaskan laki-laki.
Cukup berbeda nasibnya dengan kata perempuan, yang justru mengalamipeningkatan makna, meski awalnya ditempatkan lebih rendah daripada kata wanita. Hal ini dikatakan Sudarwati dan D. Jupriono dalam tulisan mereka di tahun 1997 :
- Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’, atau pun ‘kepala’, ‘hulu’, atau ‘yang paling besar’;
- Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu ’sokong’, ‘memerintah’, ‘penyangga’, ‘penjaga keselamatan’, bahkan ‘wali’; kata mengampu artinya ‘menahan agar tak jatuh’ atau ‘menyokong agar tidak runtuh’;
- Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’, sebagai pasangan kata tuan ’sapaan hormat pada lelaki’.
Maka ketika dulu ada istilah “perempuan jalang” yang bermakna negatif, namun kini para LSM pembela hak perempuan lebih cenderung menggunakan kata perempuanketimbang wanita. Yang muncul belakangan justru istilah WTS atau Wanita Tuna Susila untuk mengistilahkan para pekerja seks komersial.
Pun dalam pemerintahan, kabinet kita telah menggunakan istilah “Mentri Pemberdayaan Perempuan”. Namun bekas-bekas peninggalan Soeharto masih terekam jelas dalam kata “Polwan” yang merujuk pada “Polisi Wanita”, atau dalam kata “Dharma Wanita” yang tentunya merujuk pada kultur Jawa yang telah saya jabarkan di atas tadi.
Dan toh stereotyping seperti itu masih terus bergulir di masyarakat kita di abad 21 ini. Kesan perempuan adalah makhluk lemah (hingga harus diberi tempat duduk di dalam bus Transjakarta, misalnya) sesungguhnya hanya sekedar “merawat” ideologi anti-feminisme. Dan kita hidup dengan itu, sadar ataupun tidak sadar. Sudah siapkah anda untuk berdiri sama tinggi, dan duduk sama rendah?
No comments:
Post a Comment