A. Pendahuluan
Sebelum memasuki bahasan pada masalah yang berhubungan dengan kebudayaan Islam, terlebih dahulu perlu diketahui pengertian ‘kebudayaan’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pengertian kebudayaan dibedakan menjadi dua cara pandang. Pertama, menurut makna numeral (kata benda) kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal, budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Kedua, ditinjau dari sudut pandang ilmu antropologi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. (Tim Penyusun, 1995; hal. 149)
Dari kedua sudut pandang tersebut terdapat dua penekanan, yakni kebudayaan dipandang sebagai hasil sebuah produk daya cipta manusia, dan kebudayaan dipandang dari sudut normatif. Namun demikian pada prinsipnya mempunyai makna yang sama, yaitu sama-sama bertolak pada kekuatan daya cipta dan nalar manusia yang diakui sebagai suatu kebenaran.
Berbicara tentang kebudayaan dalam Islam tidak lepas dari unsur sejarah peradaban Islam di Jazirah Arab, yang terjadi sekitar abad ke 6 dan 7 masehi. Sebab dalam bahasan ini kita membatasi permasalahan yang berhubungan dengan keislaman. Artinya Islam yang misinya dibawa oleh Nabi Muhammad SAW (571 – 634 M), selanjutnya perkembangan kebudayaan Islam yang terjadi di berbagai negara belahan dunia. Dalam hal ini kiranya penulis perlu membatasi permasalahan yang akan diangkat pada pokok masalah karya tulis ini, apakah Islam pada masa awal (as-sabiqunal awwalun), atau pada masa khulafaur rasyidin, dinasti umayyah, abasiyah, atau masa yang lainnya ?
Jika dikupas masalah kebudayaan Islam secara keseluruhan, maka kita akan melihat dari sudut seni-budaya dan adat istiadat Islam. Adapun dari sudut pandang kepercayaan, dalam Islam secara konseptual sudah pasti dan tidak bisa ditawar menawar.
Nabi Muhammad SAW sebagai figur panutan dan sosok “manusia referensi” bagi umat Islam membatasi diri dalam masalah-masalah yang ritual, pemerintahan, dan kemasyarakatan secara praktis. Adapun kebutuhan kontemporer yang berhubungan dengan muamalah tidak secara rinci dapat dikodifikasikan. Salah satu contoh peristiwa tentang studi kritik tentang sebuah hadits. Dalam sebuah hadits shahih diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sesaat setelah tiba di Madinah (peristiwa hijrah) beliau menemui orang yang sedang melakukan persilangan (penyerbukan) pada bakal buah kurma. Nabi bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan ?” Orang-orang menjawab, “Kami sedang mengawinkan bakal buah kurma”. Tanya Nabi, “Kenapa tidak dibiarkan terjadi dengan sendirinya?” Orang-orang menjelaskan, “Ya Rasul, jika tidak dilakukan penyilangan maka tidak akan menghasilkan buah kurma yang maksimal”.
Dari dialog tersebut terdapat kritik terhadap hadits, bahwa sangat mustahil bagi seorang Rasul Muhammad SAW, yang pada saat itu usianya di atas 50 tahun tidak mengetahui tentang tata cara mengawinkan kurma. (Jalaluddin R, 1995)
B. Pembahasan
1. Sistem Kepercayaan
Islam sebagai salah satu agama samawi mempunyai sistem kepercayaan tauhid artinya mengesakan Tuhan atau aqidah atau theologi. Pada mulanya teologi Islam muncul jauh setelah wafat Nabi Muhammad SAW. Pemicu munculnya teologi Islam adalah timbulnya perselisihan soal politik atau “imamah” (pemimpin kaum muslimin) dan syarat-syaratnya, serta siapa yang berhak memegangnya. Lahirlah golongan pertama yang disebut dengan golongan syi’ah yang mengklaim sebagai golongan yang paling berhak menjadi pemimpin. Golongan ini merupakan pengikut setia Ali bin Abi Thalib ra. Akhirnya muncul golongan lain yakni golongan khawarij dan mu’tazilah yang menganggap bahwa orang yang berhak memangku jabatan imamah adalah orang yang terbaik dan cakap, meskipun non-Arab. (A. Hanafi, 1989)
Persoalan ini berlanjut hingga sekarang masih tersisa akar-akar pemicu konflik. Sehingga yang paling nyata dirasakan seperti yang terjadi di Irak sekarang, dengan adanya dua kubu yang terus menerus konflik, yakni aliran sunni dan syi’ah. Dengan adanya konflik di tubuh intern umat Islam ini merupakan kesempatan emas bagi pihak luar yang tidak suka dengan Islam. Oleh karena itu hingga saat ini belum ada pihak-pihak yang mampu meredam konflik yang terjadi di Irak.
Dari persoalan teologi merembet kepada persoalan furu’iyah, yakni perbedaan dalam lapangan fiqh atau tata cara beribadah. Hal ini imbasnya sangat terasa hingga di kalangan umat Islam Indonesia, yang ditandai dengan lahirnya beberapa organisasi massa Islam. Masing-masing ormas memiliki aturan dan koridor cara beribadah sendiri-sendiri sebagai bagian dari upaya mempertahankan identitas. Sebut saja misalnya dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Ada perbedaan yang menonjol dalam tata cara beribadah. Kita ambil contoh misalnya dalam tata cara pengurusan jenazah (tazhijul mayyit). Secara garis besarnya tata cara pengurusan jenazah sudah disepakati oleh keduanya berdasarkan aturan hadits ada 4 macam kewajiban, yakni memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan. Dari keempat kewajiban ini ada perbedaan teknis pelaksanaannya, namun secara prinsip sama. Misalnya dalam cara memandikan jenazah apakah ada aturan khusus mengenai status gender pelaksana dalam memandikan. Jika mayat laki-laki dimandikan oleh kaum adam, dan jika mayat perempuan dimandikan oleh kaum hawa. Lalu pada permulaannya apakah diawali dengan mewudukan dan diakhiri dengan mewudukan lagi, atau mewudukan cukup di awal atau di akhir saja. Dalam aturan menyolatkan ada perbedaan dalam urusan usholli saja, dan cara mengkafani pada prinsipnya tidak ada perbedaan. Sedangkan dalam tata cara menguburkan ada sedikit perbedaan dalam hal mengumandangkan azan pada saat mayat diturunkan ke liang lahat.
Perbedaan yang menonjol terjadi pada penyelenggaraan upacara ritual pasca kematian. Kelompok NU biasa melakukan ritual yang disebut dengan upacara tiga hari (tiluna), tujuh hari (tujuhna), empat puluh hari (matang puluh), seratus hari (natus), seribu hari (newu) dan seterusnya. Sedangkan di kelompok Muhammadiyah praktek ini tidak ditemukan. Bagi pihak yang melaksanakan ritual ini mereka beralasan bahwa ada salah satu hadits yang menerangkan bahwa keadaan orang yang berada di alam barzah itu ibarat orang yang hampir tenggelam dalam air dan sedang meminta pertolongan. Adapun pertolongan yang dapat diberikan oleh orang yang berada di alam dunia ini tiada lain melalui ritual dan doa. Adapun golongan Muhammadiyah beralasan bahwa setiap individu telah memilih dan membawa amalnya masing-masing dan tidak ada hubungan sama sekali antara amal seseorang dengan yang lainnya, jadi tidak perlu diadakan ritual kematian.
Di sisi lain golongan Muhammadiyah tidak memiliki konsep tentang tata cara penyelenggaraan selamatan acara mencukur bayi yang baru lahir. Sedangkan kelompok NU mempunyai ritual yang cukup unik pada acara cukuran bayi, yakni dengan cara dibacakan kitab al-Barjanji dengan lirik lagu yang khas. Dan masih banyak ritual lainnya yang menjadi tarik ulur wacana yang mengarah pada ujian toleransi (tasamuh).
2. Kesenian
Berbicara masalah kesenian dalam Islam menjurus pada persoalan yang cukup tabu. Pasalnya ada penyempitan interpretasi, sebab kesenian lebih diasosiasikan sebagai seni suara atau musik. Terutama masalah musik di kalangan para ulama cenderung memberi hukum haram. Namun demikian perlu disadari bahwa kesenian dalam arti luas dalam Islam memiliki banyak khazanah seni yang sangat menakjubkan. Di antaranya seni arsitek, seni qiroat, dan seni kaligrafi.
Dalam sejarah kebudayaan Islam dilukiskan betapa seni arsitek menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari syi’ar dan ekspansi Islam yang menyebar mulai dari Jazirah Arab hingga Eropa tengah. Pada masa Daulah Bani Abasiyah (awal abad ke-12) kekuasaan Islam menyebar hingga Andalusia (Spanyol). Sebagai bukti monumental bahwa ekspansi Islam sampai di sana sampai saat ini masih banyak ditemukan bangunan-bangunan kuno bergaya arsitektur Islam. Akan tetapi karena kekalahannya pada perang salib, maka bangunan-bangunan Islam itu sekarang beralih fungsi untuk kepentingan di luar kepentingan Islam.
Di bidang seni kaligrafi, Islam memiliki peranan yang sangat penting. Dalam ilmu kaligrafi dikenal beberapa jenis tulisan yang dikenal dengan istilah khat. Di antara beberapa khat yang diperkenalkan antara lain tulusi, farisi, kufi, diwani, dan lain-lain.
Dengan adanya seni kaligrafi Islam, sangat membawa berkah bagi banyak seniman. Mereka bisa mencari nafkah lewat bakat dan keahliannya membuat seni kaligrafi.
Kaligrafi di kalangan masyarakat awam dipandang hanya dari segi artistiknya saja, padahal banyak aturan yang diterapkan dalam cara menggoreskan tulisan di kanvas. Seni tulisan indah untuk pajangan akan berbeda dengan seni tulisan untuk teks buku/kitab. Apalagi bentuk tulisan untuk ayat suci Al-Qur’an, harus berpola pada rasmil usmani. Jadi tidak sembarangan mencetak Al-Qur’an, sebab dalam hal ini Departemen Agama RI telah membentuk sebuah lembaga yang khusus mengawasi dan mengesahkan sebuah cetakan Al-Qur’an yang akan diproduksi oleh penerbit. Lembaga ini disebut Lajnah Pentashih Kitab Suci Al-Qur’an. Di mana di dalamnya terdiri dari para ulama dan pakar-pakar Al-Qur’an sekaligus penghafal Al-Qur’an.
3. Adat Istiadat
Adat istiadat Islam mengacu pada pedoman pokok umat Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bila ada adat istiadat yang belum sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka secara bertahap akan disesuaikan. Misalnya umat Islam di Indonesia yang sebelumnya sudah kental dengan budaya Hindu dan Budha, mereka masih mempercayai kekuatan arwah nenek moyang dan melakukan ritual yang diperuntukkan untuk kekuatan gaib. Di samping itu ada pula kepercayaan tentang perhitungan hari-hari yang dianggap mengandung kekuatan. Misalnya hari Kliwon atau bulan-bulan tertentu yang tidak pernah dipakai upacara selamatan. Oleh karena itu, di masyarakat suku Jawa jarang yang melakukan upacara selamatan di bulan Rayagung atau Zulhijah. Sedangkan masyarakat suku Sunda tidak melakukannya di bulan Hapit (Zulqa’dah).
Prof. Hazairin (ahli hukum) mengatakan bahwa para ahli hukum Belanda menyebutkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia adalah adat Islam yang dikenal dengan istilah resptio in complexio. Meskipun teori ini pada akhirnya ditentang oleh Dr. Snouck Hogronye. (Tim, 1992: In Memoriam Prof. Hazairin). Pendapat Hazairin tersebut memang cukup logis, sebab pada saat Belanda datang ke Indonesia masyarakat pribumi sudah menganut agama Islam, yang sudah kental dengan tradisi Islam. Misalnya ungkapan rasa syukur diawali dengan ucapan “Alhamdulillah”, jika mendengar kematian mengucapkan “inna lillahi wainna ilaihi roji’un”, dan banyak istilah Islam lainnya yang kental dengan dialog sehari-hari masyarakat Indonesia.
C. Penutup
Demikian makalah ini penyusun tulis sebagai apresiasi terhadap khazanah keilmuan keislaman. Meskipun sangat disadari bahwa pengetahun penulis tentang kebudayaan Islam masih sangat minim, namun dengan bantuan berbagai pihak syukur Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan. Harapan penulis, semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi (1989) , Pengantar Teologi Islam, Jakarta : Penerbit Pustaka Alhusna, Cetakan ke-1
Arsyad, Muhammad Natsir (1993), Seri Buku Pintar Islam; Seputar Sejarah dan Muamalah, Bandung : Al-Bayan
Tim Penyusun (tanpa tahun), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: In Memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin, Jakarta : UI Press.
Tim Penyusun Depag RI (2006) , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : PT. Pena Pundi Aksara
No comments:
Post a Comment