Lembaga pendidikan di Indonesia selalu mengalami metamorfosis dari masa ke masa. Dahulu, lembaga pendidikan di Indonesia terdiri dari berbagai bentuk. Diantaranya ada pesantren di Jawa, surau di Minangkabau, dan dayah di Aceh. Namun saat ini, lembaga pendidikan, terutama pendidikan Islam, terbatas pada sekolah, madrasah, dan pesantren. Surau dan dayah tidak lagi terlihat eksistensinya setelah adanya pembaharuan pendidikan baik yang dilakukan oleh kolonial Belanda, maupun kaum modernis Indonesia.
Terpinggirkannya lembaga pendidikan Islam tradisional seperti yang dialami oleh surau dan dayah, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Turki, lembaga pendidikan Islam tradisional yang bernama Medrese juga terpinggirkan ketika pemerintah Turki mengadakan reformasi pendidikan. Tahun 1924 Mustafa Kemal Ataturk menghapuskan sistem Medrese dan menggantikannya dengan sekolah umum yang sesuai dengan sistem pendidikan Eropa.
Begitu juga yang terjadi di Mesir. Ketika Muhammad Ali Pasha memodernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan di Mesir, lembaga pendidikan madrasah mulai terpinggirkan. Pada tahun 1833 Muhammad Ali Pasha membentuk sekolah umum yang berdampingan dengan madrasah. Lalu, pada tahun 1868, Khedive Ismail mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan umum. Akhirnya, pemerintah Gamal Abdel Nasser menghapuskan sistem madrasah.
Fakta menarik adalah pesantren. Lembaga pendidikan Islam tradisional ini tetap mampu bertahan hingga saat ini meskipun telah banyak lembaga pendidikan modern. Eksisnya pesantren menurut Azyumardi Azra disebabkan oleh kultur Jawa yang involutif dan menekankan harmoni, sehingga mampu menyerap kebudayaan luar tanpa kehilangan identitasnya. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa bertahannya pesantren disebabkan karena pola kehidupannya yang unik sebagai sub kultur.
Sedang menurut Geertz, bertahannya pesanren ditentukan oleh kemampuannya mempertahankan identitasnya sebagai sistem pendidikan yang didominasi oleh kyai dan pada saat yang sama memperjelas perannya sebagai bentuk komplementer pendidikan nasional. Geertz memang mengajukan analisis bahwa peran kyai akan tetap eksis sepanjang ia mendirikan madrasah yang memuaskan secara religius bagi penduduk desa dan sekolah yang berfungsi membantu pertumbuhan Indonesia baru. Jika peran ini gagal diambil oleh kyai, maka pesantren pun akan kandas ditelan zaman.
Analisis Geertz memang logis dan cukup memberi arahan bagi perkembangan pesantren. Namun, analisis ini nampaknya sedikit terbantahkan. Terbukti, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan model klasikal sampai saat ini tetap berjalan. Salah satunya adalah pesatren Lirboyo, Kediri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ali Anwar, M.Ag, terhadap pesantren Lirboyo, Kediri, sebagaimana yang ditulis dalam buku ini, terdapat fakta bahwa pesantren Lirboyo tetap menyelenggarakan pendidikan model klasikal dan tetap memiliki banyak santri.
Dari data di lapangan, ditemukan bahwa 5.720 (62,42%) santri dari 9.163 santri di pesantren Lirboyo, hanya mengenyam pendidikan kitab kuning di Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’in. 876 santri (9,5%) menjadi siswa MTs dan MA HM Tribakti, 312 santri (3,4%) menjadi siswa di SD, SMP, dan SMA ar-Risalah, dan sisanya 2.225 santri (24,6%) menjadi santri di pesantren-pesantren unit lainnya yang hanya menyelenggarakakan pendidikan diniyah.
Secara umum, sampai saat ini di pesantren Lirboyo terdapat tiga corak pendidikan formal yaitu yang pertama, madrasah diniyah yang bernama Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM), Madrasah Diniyah al-Mahrusiyah, dan Madrasah Diniyah ar-Risalah. Kedua, MTs dan MA HM Tribakti yang menggunakan kurikulum Departemen Agama. Ketiga, SD, SMP, dan SMA ar-Risalah yang menggunakan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (hlm 73).
Adapun modernisasi pendidikan terjadi sejak tahun 1986. Hal ini ditandai dengan diselenggarakannya pendidikan model madrasah yang mengikuti kurikulum Depag. Madrasah yang didirikan adalah MTs dan MA HM Tribakti yang berkurikulum Departemen Agama yang menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah yang disebut sekolah umum yang berciri khas Islam. Lalu dilanjutkan dengan membuka SD, SMP, dan SMA Ar-Risalah sebagai lembaga pendidikan umum yang bertujuan untuk melengkapi kekurangan MTs dan MA HM Tribakti.
Data penelitian yang dikemukakan diatas tadi, menjadi bukti bahwa pesantren tetap bisa eksis meski hanya dengan pendidikan klasikal. Karena itu, pesantren patut untuk diapresiasi dan dijadikan tonggak bagi tegaknya pendidikan di Indonesia, sebab pesantren mampu menjawab tantangan zaman.
No comments:
Post a Comment