TERBENTUKNYA stratifikasi masyarakat berdasarkan pengelompokan etnik atau ras, seperti dikemukakan Furnifall di Hindia Belanda, tidak memadai lagi sebagai perkakas ilmiah cukup untuk menjelaskan kompleksitas masyarakat majemuk.
Modernisasi yang telah mendorong mobilitas penduduk-baik secara horizontal maupun vertikal-tidak lagi mengenal batasan askriptif sosial yang disuburkan kolonial itu.
Pertumbuhan kota yang pesat di berbagai propinsi di Indonesia telah menjadi daya tarik bagi para pendatang dengan berbagai latar belakang etnik. Di sini mereka berpacu untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dan politik yang terbatas. Di sini pula mereka setiap saat harus dapat menerima kehadiran orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda.
Dalam konteks seperti ini keragaman haruslah dilihat sebagai suatu struktur interaksi yang relatif harmonis. Di luar itu, pengertiannya menjadi lain atau bergeser. Seperti mayoritas-minoritas, atau bahkan kolonialisme, imperialisme baru. Dengan kata lain, bagaimana seseorang dengan latar belakang etnik (baik itu suku bangsa, agama, maupun kedaerahan) mendefinisikan situasinya dalam hubungannya dengan orang lain dari kelompok berbeda, menentukan kategori masyarakat tersebut.
Dalam bahasa sederhana, di Irian Jaya penduduk asli tidak habis pikir, mengapa hanya untuk camat saja didatangkan dari Jawa. Demikian pula guru. Padahal sekarang, ribuan sarjana putra asli daerah saat ini menganggur karena tidak ada lowongan kerja. Ironisnya, penduduk Irian Jaya menempati papan atas dalam soal kemiskinan di republik ini.
Di masa Orde Baru tidak ada yang berani memprotes hal ini. Penggunaan kata demi mempertahankan persatuan dan kesatuan, bisa membuat nyawa orang dalam bahaya. Maka apa pun yang dilakukan Jakarta adalah benar adanya. Kultur pangreh praja, atau penguasa kerajaan, yang ditumbuhkan sejak zaman kolonial, membentuk persepsi bahwa daerah luar Jawa butuh bimbingan dan harus diarahkan agar tidak "keliru."
Logika seperti ini juga muncul dalam eksploatasi sumber daya alam. Jakarta menyebutnya untuk kesejahteraan daerah. Sementara warga Irian Jaya melihatnya sebagai perampokan. Protes warga akan dijawab dengan pengiriman pasukan dengan dalih adanya unsur provokasi oleh OPM.
Sejak Indonesia merdeka, kata persatuan dan kesatuan telah menjadi senjata ampuh untuk membungkam pertanyaan sekitar hak-hak kelompok minoritas dan penduduk lokal. Soekarno dan Soeharto dengan mudah mengirim ribuan bala prajurit bersenjata dari Jawa. Di zaman Orde Baru, membicarakan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) malah bisa dikategorikan subversif, yang ancaman hukumannya adalah mati. Maka nasionalisme yang selalu diagung-agungkan itu pun menjadi lebih mirip kesadaran palsu, sesuatu yang dipaksakan.
Tahun 1950-an Geertz sudah melihat kuatnya sentimen Jawa dan luar Jawa. Beberapa peneliti lainnya malah melihat secara jelas bagaimana preferensi politik dipengaruhi latar belakang etnik. Pada pemilu pertama, dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Simalungun, Sumut, William Liddle melihat orang Batak Toba cenderung memilih Parkindo, Jawa memilih PNI, Batak Selatan pada Masyumi, dan seterusnya.
Dengan berkembangnya pendidikan serta kemajuan di sektor informasi, preferensi politik tersebut pastilah mengalami transformasi. Namun, hampir bisa dipastikan latar belakang etnik tetaplah dominan. Dan ini bukanlah pertanda ancaman bagi kesatuan dan persatuan, atau belum berkembangnya masyarakat kita dari tatanan agraris yang kuno.
Di negara-negara maju latar belakang etnik tetap diperhitungkan sebagai faktor yang mempengaruhi pilihan politik dalam setiap pemilu. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari seperti di AS dan Eropa, pengelompokan etnik tampak secara kasat mata, termasuk dalam hal pengelompokan permukiman. Banyak kelompok etnik di sini berusaha untuk memperjuangkan otonomi. Kecuali di Irlandia Utara dan Spanyol (kelompok Basque), mereka menjauhi jalan kekerasan. Seperti Hawaii di AS, misalnya.
Di Swiss, nasionalisme masih tanda tanya karena warganya terbelah dalam identitas masing-masing. Yakni, Italia, Perancis, dan Jerman. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasanya sendiri. Di Kanada dan Perancis, pengelompokan dan stratifikasi sosial berdasarkan agama, ras, bahasa, maupun latar belakang suku bangsa, masih terus mewarnai percaturan politik. Sedang di Belgia, tiga partai politik utama adalah jembatan pengelompokan orang-orang yang berlatar belakang Fleming dan Walloon. Mereka lebih gembira disebut sebagai orang Fleming atau Walloon ketimbang Belgia.
Keadaan seperti ini jauh lebih menonjol di Asia dan Afrika, ujar Prof Donald L Horowitz dalam tulisannya, Community Conflict: Policy and Possibilities. Dengan mengambil kasus sejumlah negara ia berpendapat, dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk melahirkan suatu entitas nasional yang utuh. Jika dikaitkan dengan Indonesia yang baru berusia 55 tahun, maka wajarlah jika kita mawas diri.
SETELAH rontoknya Orde Baru, nasionalisme dan integrasi nasional yang kerap dibanggakan pejabat dalam setiap acara resmi, terasa hambar. Sebab, tiba-tiba saja keseimbangan hubungan antar-etnik menjadi sangat rawan, dan setiap saat bisa berubah menjadi konflik terbuka, komunal yang membahayakan, yang jika dibiarkan akan dan mengarah cenderung ke arah genocide.
Hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dengan luar Pulau Jawa juga makin goyah. Beberapa propinsi malah sudah bulat tekadnya untuk keluar dari negara kesatuan RI. Sekarang referendum menjadi sebuah kata yang nyaris sama saktinya dengan persatuan dan kesatuan di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Di tengah badai krisis ekonomi yang belum pulih sejak tiga tahun silam, situasi demikian terasa amat sangat membahayakan. Di mana-mana orang melihat perpecahan bisa setiap saat menjungkirbalikkan integrasi nasional. Masa depan makin tidak menentu. Sedang keamanan menjadi amat mahal di saat amok massa lebih dominan ketimbang penegakan hukum. Berlindung di bawah payung kelompok etnik menjadi pilihan saat anarki mulai merebak. Sebaliknya hal ini akan mempercepat proses ke arah polarisasi.
Namun, sesungguhnya konflik etnik bukanlah sesuatu yang berseberangan dengan peradaban modern. Pakar sosiologi konflik secara mengejutkan membuktikan bahwa konflik tersebut justru banyak lahir di tengah akibat arus modernisasi tersebut. Di zaman kuno, misalnya, tidak terdengar adanya konflik tersebut, kecuali dalam masyarakat berburu atau bertani secara berpindah-pindah, yang berperang memperebutkan daerah perburuan. Bahkan di era kolonial, hubungan etnik bahkan seolah bisa "harmonis" dengan adanya legitimasi atas dalam pengelompokan pada strata-strata sosial tertentu.
Memasuki abad ke-20, perang yang meningkat hingga pada upaya pemusnahan etnik mulai bermunculan di berbagai belahan dunia, khususnya yang dilakukan Nazi Jerman terhadap warga Yahudi. Sedikit agak mereda ketika Perang Dingin. Terlebih lagi jargon internasionalisasi yang digaungkan blok sosialis cenderung membela hak-hak kelompok minoritas. Namun, usai Perang Dingin, terakhir disusul rontoknya tembok Berlin, konflik tersebut meningkat tajam. Negara-negara satelit mereka di Afrika turut mengalami guncangan demikian. Termasuk Ethiopia, Sudan, dan Angola.
Negara-negara yang tadinya masuk kubu blok sosialis tersebut, melakukan modernisasi di berbagai sektor setelah menyadari jauh tertinggal oleh "negara kapitalis" yang dimotori AS. Modernisasi sejauh, seperti dikemukakan Fred W Riggs dalam tulisannya The Para-Modern Context of Ethnic Nationalism, sejauh menyangkut nasionalisme, industrialisasi, dan demokratisasi, merupakan lahan subur bagi konflik komunal.
Ketika kelompok yang satu merasa diperlakukan tidak adil dalam distribusi sumber-sumber ekonomi maupun politik, nasionalisme itu dipertanyakan. Sebaliknya pemerintahan transisisonal dengan jargon nasionalisme, acapkali menjadikan golongan minoritas sebagai kambing hitam berbagai masalah dalam negeri. Ini akan melahirkan perlawanan, yang dalam perjalanan waktu akan berubah menjadi konflik terbuka.
Prof Huntington, pakar ilmu politik dan sejarawan, membuat prediksi berdasarkan kurva siklus sejarah bahwa di era milenium ini konflik agama, maupun nasionalisme lokal yang dibalut agama, akan sangat dominan. Hal yang sama juga dikemukakan Prof Alvin Toffler dalam Gelombang Ketiga.
Tidak ada menyangka perang agama dan suku justru terjadi begitu dahsyat di Eropa. Kemudian suatu negara terbelah menjadi sejumlah negara berdasarkan klaim teritorial minoritas. Kita sungguh-sungguh berada di abad yang penuh dengan hal-hal yang tadinya dianggap mustahil.
Dunia berubah begitu cepat. Sekarang banyak pengamat was was, khawatir hulu ledak nuklir yang banyak tersimpan di negara-negara eks Uni Soviet ikut digunakan dalam perang yang berkecamuk di sana. Sekarang pusat bahaya bukan lagi pada konflik terbuka negara-negara adikuasa, seperti halnya tahun 1980-an ke bawah, tetapi justru pada perselisihan terbuka negara-negara baru yang penduduknya sedikit, seperti Ukraina, misalnya.
Berbarengan dengan terbukanya dunia dari segala tembok dan benteng ideologi Perang Dingin, nasionalisme palsu rontok dengan sendirinya. Perang yang bergulir menenggelamkan identitas Yogoslavia, Uni Soviet, dan sejumlah negara lain. Sebaliknya di negara yang begitu "beradab" seperti Jerman, Perancis, dan Inggris, muncul barisan ultranasionalis.
DI Indonesia, persoalan menyangkut integrasi nasional selalu dilihat dari kaca mata normatif. Sisa dimensi mistik kultur Jawa masih hidup dalam nalar penguasa di Jakarta. Sehingga ucapan selalu dianggap lebih dominan ketimbang kenyataan. Dengan kalimat "ada provokator atau skenario di balik peristiwa itu," persoalan ini pun dianggap "tuntas."
Padahal dengan diabaikannya hak putra daerah menjadi bupati dan memimpin daerah itu, sentimen etnik akan membentuk prasangka-prasangka negatif dan ancaman yang datang dari kelompok "mereka." Ketegangan akan terjadi dalam hubungan sosial. Sedikit saja ada penyulutnya segera berubah menjadi konflik terbuka. Hal seperti inilah yang terjadi di berbagai daerah, termasuk Poso, Maluku, Kalbar. Belum lagi dalam kaitannya dengan akses terhadap sumber-sumber ekonomi.
Persoalannya, apakah kita siap dan dapat memahami hal ini dengan lapang dada? Robert J Antonio dalam tulisannya After Postmodernism: Reactionary Tribalism, melihat kegagalan sistem kapitalisme maupun modernisasi membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, akan menimbulkan kekecewaan umum dan mendorong orientasi mereka pada kelompok-kelompok etnik. Lantas globalisasi atau dunia tanpa mengenal batas wilayah ini bukanlah puncak peradaban manusia. Kita sedang berjalan menuju pusaran itu.
Modernisasi yang telah mendorong mobilitas penduduk-baik secara horizontal maupun vertikal-tidak lagi mengenal batasan askriptif sosial yang disuburkan kolonial itu.
Pertumbuhan kota yang pesat di berbagai propinsi di Indonesia telah menjadi daya tarik bagi para pendatang dengan berbagai latar belakang etnik. Di sini mereka berpacu untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dan politik yang terbatas. Di sini pula mereka setiap saat harus dapat menerima kehadiran orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda.
Dalam konteks seperti ini keragaman haruslah dilihat sebagai suatu struktur interaksi yang relatif harmonis. Di luar itu, pengertiannya menjadi lain atau bergeser. Seperti mayoritas-minoritas, atau bahkan kolonialisme, imperialisme baru. Dengan kata lain, bagaimana seseorang dengan latar belakang etnik (baik itu suku bangsa, agama, maupun kedaerahan) mendefinisikan situasinya dalam hubungannya dengan orang lain dari kelompok berbeda, menentukan kategori masyarakat tersebut.
Dalam bahasa sederhana, di Irian Jaya penduduk asli tidak habis pikir, mengapa hanya untuk camat saja didatangkan dari Jawa. Demikian pula guru. Padahal sekarang, ribuan sarjana putra asli daerah saat ini menganggur karena tidak ada lowongan kerja. Ironisnya, penduduk Irian Jaya menempati papan atas dalam soal kemiskinan di republik ini.
Di masa Orde Baru tidak ada yang berani memprotes hal ini. Penggunaan kata demi mempertahankan persatuan dan kesatuan, bisa membuat nyawa orang dalam bahaya. Maka apa pun yang dilakukan Jakarta adalah benar adanya. Kultur pangreh praja, atau penguasa kerajaan, yang ditumbuhkan sejak zaman kolonial, membentuk persepsi bahwa daerah luar Jawa butuh bimbingan dan harus diarahkan agar tidak "keliru."
Logika seperti ini juga muncul dalam eksploatasi sumber daya alam. Jakarta menyebutnya untuk kesejahteraan daerah. Sementara warga Irian Jaya melihatnya sebagai perampokan. Protes warga akan dijawab dengan pengiriman pasukan dengan dalih adanya unsur provokasi oleh OPM.
Sejak Indonesia merdeka, kata persatuan dan kesatuan telah menjadi senjata ampuh untuk membungkam pertanyaan sekitar hak-hak kelompok minoritas dan penduduk lokal. Soekarno dan Soeharto dengan mudah mengirim ribuan bala prajurit bersenjata dari Jawa. Di zaman Orde Baru, membicarakan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) malah bisa dikategorikan subversif, yang ancaman hukumannya adalah mati. Maka nasionalisme yang selalu diagung-agungkan itu pun menjadi lebih mirip kesadaran palsu, sesuatu yang dipaksakan.
Tahun 1950-an Geertz sudah melihat kuatnya sentimen Jawa dan luar Jawa. Beberapa peneliti lainnya malah melihat secara jelas bagaimana preferensi politik dipengaruhi latar belakang etnik. Pada pemilu pertama, dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Simalungun, Sumut, William Liddle melihat orang Batak Toba cenderung memilih Parkindo, Jawa memilih PNI, Batak Selatan pada Masyumi, dan seterusnya.
Dengan berkembangnya pendidikan serta kemajuan di sektor informasi, preferensi politik tersebut pastilah mengalami transformasi. Namun, hampir bisa dipastikan latar belakang etnik tetaplah dominan. Dan ini bukanlah pertanda ancaman bagi kesatuan dan persatuan, atau belum berkembangnya masyarakat kita dari tatanan agraris yang kuno.
Di negara-negara maju latar belakang etnik tetap diperhitungkan sebagai faktor yang mempengaruhi pilihan politik dalam setiap pemilu. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari seperti di AS dan Eropa, pengelompokan etnik tampak secara kasat mata, termasuk dalam hal pengelompokan permukiman. Banyak kelompok etnik di sini berusaha untuk memperjuangkan otonomi. Kecuali di Irlandia Utara dan Spanyol (kelompok Basque), mereka menjauhi jalan kekerasan. Seperti Hawaii di AS, misalnya.
Di Swiss, nasionalisme masih tanda tanya karena warganya terbelah dalam identitas masing-masing. Yakni, Italia, Perancis, dan Jerman. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasanya sendiri. Di Kanada dan Perancis, pengelompokan dan stratifikasi sosial berdasarkan agama, ras, bahasa, maupun latar belakang suku bangsa, masih terus mewarnai percaturan politik. Sedang di Belgia, tiga partai politik utama adalah jembatan pengelompokan orang-orang yang berlatar belakang Fleming dan Walloon. Mereka lebih gembira disebut sebagai orang Fleming atau Walloon ketimbang Belgia.
Keadaan seperti ini jauh lebih menonjol di Asia dan Afrika, ujar Prof Donald L Horowitz dalam tulisannya, Community Conflict: Policy and Possibilities. Dengan mengambil kasus sejumlah negara ia berpendapat, dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk melahirkan suatu entitas nasional yang utuh. Jika dikaitkan dengan Indonesia yang baru berusia 55 tahun, maka wajarlah jika kita mawas diri.
SETELAH rontoknya Orde Baru, nasionalisme dan integrasi nasional yang kerap dibanggakan pejabat dalam setiap acara resmi, terasa hambar. Sebab, tiba-tiba saja keseimbangan hubungan antar-etnik menjadi sangat rawan, dan setiap saat bisa berubah menjadi konflik terbuka, komunal yang membahayakan, yang jika dibiarkan akan dan mengarah cenderung ke arah genocide.
Hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dengan luar Pulau Jawa juga makin goyah. Beberapa propinsi malah sudah bulat tekadnya untuk keluar dari negara kesatuan RI. Sekarang referendum menjadi sebuah kata yang nyaris sama saktinya dengan persatuan dan kesatuan di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Di tengah badai krisis ekonomi yang belum pulih sejak tiga tahun silam, situasi demikian terasa amat sangat membahayakan. Di mana-mana orang melihat perpecahan bisa setiap saat menjungkirbalikkan integrasi nasional. Masa depan makin tidak menentu. Sedang keamanan menjadi amat mahal di saat amok massa lebih dominan ketimbang penegakan hukum. Berlindung di bawah payung kelompok etnik menjadi pilihan saat anarki mulai merebak. Sebaliknya hal ini akan mempercepat proses ke arah polarisasi.
Namun, sesungguhnya konflik etnik bukanlah sesuatu yang berseberangan dengan peradaban modern. Pakar sosiologi konflik secara mengejutkan membuktikan bahwa konflik tersebut justru banyak lahir di tengah akibat arus modernisasi tersebut. Di zaman kuno, misalnya, tidak terdengar adanya konflik tersebut, kecuali dalam masyarakat berburu atau bertani secara berpindah-pindah, yang berperang memperebutkan daerah perburuan. Bahkan di era kolonial, hubungan etnik bahkan seolah bisa "harmonis" dengan adanya legitimasi atas dalam pengelompokan pada strata-strata sosial tertentu.
Memasuki abad ke-20, perang yang meningkat hingga pada upaya pemusnahan etnik mulai bermunculan di berbagai belahan dunia, khususnya yang dilakukan Nazi Jerman terhadap warga Yahudi. Sedikit agak mereda ketika Perang Dingin. Terlebih lagi jargon internasionalisasi yang digaungkan blok sosialis cenderung membela hak-hak kelompok minoritas. Namun, usai Perang Dingin, terakhir disusul rontoknya tembok Berlin, konflik tersebut meningkat tajam. Negara-negara satelit mereka di Afrika turut mengalami guncangan demikian. Termasuk Ethiopia, Sudan, dan Angola.
Negara-negara yang tadinya masuk kubu blok sosialis tersebut, melakukan modernisasi di berbagai sektor setelah menyadari jauh tertinggal oleh "negara kapitalis" yang dimotori AS. Modernisasi sejauh, seperti dikemukakan Fred W Riggs dalam tulisannya The Para-Modern Context of Ethnic Nationalism, sejauh menyangkut nasionalisme, industrialisasi, dan demokratisasi, merupakan lahan subur bagi konflik komunal.
Ketika kelompok yang satu merasa diperlakukan tidak adil dalam distribusi sumber-sumber ekonomi maupun politik, nasionalisme itu dipertanyakan. Sebaliknya pemerintahan transisisonal dengan jargon nasionalisme, acapkali menjadikan golongan minoritas sebagai kambing hitam berbagai masalah dalam negeri. Ini akan melahirkan perlawanan, yang dalam perjalanan waktu akan berubah menjadi konflik terbuka.
Prof Huntington, pakar ilmu politik dan sejarawan, membuat prediksi berdasarkan kurva siklus sejarah bahwa di era milenium ini konflik agama, maupun nasionalisme lokal yang dibalut agama, akan sangat dominan. Hal yang sama juga dikemukakan Prof Alvin Toffler dalam Gelombang Ketiga.
Tidak ada menyangka perang agama dan suku justru terjadi begitu dahsyat di Eropa. Kemudian suatu negara terbelah menjadi sejumlah negara berdasarkan klaim teritorial minoritas. Kita sungguh-sungguh berada di abad yang penuh dengan hal-hal yang tadinya dianggap mustahil.
Dunia berubah begitu cepat. Sekarang banyak pengamat was was, khawatir hulu ledak nuklir yang banyak tersimpan di negara-negara eks Uni Soviet ikut digunakan dalam perang yang berkecamuk di sana. Sekarang pusat bahaya bukan lagi pada konflik terbuka negara-negara adikuasa, seperti halnya tahun 1980-an ke bawah, tetapi justru pada perselisihan terbuka negara-negara baru yang penduduknya sedikit, seperti Ukraina, misalnya.
Berbarengan dengan terbukanya dunia dari segala tembok dan benteng ideologi Perang Dingin, nasionalisme palsu rontok dengan sendirinya. Perang yang bergulir menenggelamkan identitas Yogoslavia, Uni Soviet, dan sejumlah negara lain. Sebaliknya di negara yang begitu "beradab" seperti Jerman, Perancis, dan Inggris, muncul barisan ultranasionalis.
DI Indonesia, persoalan menyangkut integrasi nasional selalu dilihat dari kaca mata normatif. Sisa dimensi mistik kultur Jawa masih hidup dalam nalar penguasa di Jakarta. Sehingga ucapan selalu dianggap lebih dominan ketimbang kenyataan. Dengan kalimat "ada provokator atau skenario di balik peristiwa itu," persoalan ini pun dianggap "tuntas."
Padahal dengan diabaikannya hak putra daerah menjadi bupati dan memimpin daerah itu, sentimen etnik akan membentuk prasangka-prasangka negatif dan ancaman yang datang dari kelompok "mereka." Ketegangan akan terjadi dalam hubungan sosial. Sedikit saja ada penyulutnya segera berubah menjadi konflik terbuka. Hal seperti inilah yang terjadi di berbagai daerah, termasuk Poso, Maluku, Kalbar. Belum lagi dalam kaitannya dengan akses terhadap sumber-sumber ekonomi.
Persoalannya, apakah kita siap dan dapat memahami hal ini dengan lapang dada? Robert J Antonio dalam tulisannya After Postmodernism: Reactionary Tribalism, melihat kegagalan sistem kapitalisme maupun modernisasi membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, akan menimbulkan kekecewaan umum dan mendorong orientasi mereka pada kelompok-kelompok etnik. Lantas globalisasi atau dunia tanpa mengenal batas wilayah ini bukanlah puncak peradaban manusia. Kita sedang berjalan menuju pusaran itu.
No comments:
Post a Comment