Bagi manusia Jawa, selain sebagai tempat tinggal, rumah juga merupakan sesuatu yang selalu dinapasi oleh manusia dan memiliki jiwa. Oleh karena itu, rumah Jawa tidak sekedar memperhatikan segala aspek yang terkait dengan arsitektur secara fisik, tetapi juga memperhatikan segala simbol, baik dari jiwa manusia sendiri, lingkungan (alam), maupun Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Begitu pun yang terjadi pada proses rancang bangun Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dibangun dengan memikirkan unsur magis dan kesakralan yang tinggi, terkait dengan posisi geografis, sejarah, serta wahyu yang selalu dihubungkan dengan kekuatan mistis. Kekuatan mistis yang dimaksud di sini adalah kekuatan yang tak tampak, hasil perpaduan antara kekuatan lahiriah dan batiniah; logis dan non logis; kasar dan halus; tampak dan tidak tampak; fisik dan metafisik. Manusia arkhais Jawa sangat dikenal dengan prinsip mikrokosmos dan makrokosmosnya termasuk dalam tubuh Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dalam persepsi keyakinan manusia Jawa dianggap sebagai pusat kosmos budaya Jawa.
Namun tujuan dan dasar awal pembangunan Keraton Surakarta tersebut ternyata dalam perjalanannya tidak sejalan dengan perkembangan zaman, terutama setelah pergantian kepemimpinan raja, masuknya faktor keberadaan penguasa kolonial Hindia Belanda, hingga pada akhirnya Indonesia merdeka. Dekonstruksi ini disebabkan tidak lain karena kematian metafisika Keraton Surakarta, yang secara tidak langsung dapat dikatakan diingkari oleh pihak-pihak yang tidak memahami konsep-konsep yang dianut di dalam tubuh Keraton Surakarta. Pada akhirnya kini Keraton Surakarta seakan telah mati suri.
Sebelum mendapatkan pengaruh dari kolonial, Keraton Surakarta dikenal sebagai penguasa Jawa, pewaris Dinasti Mataram, yang memiliki dominasi kekuasaan dalam bidang pemerintahan, sosial, agama, serta pengembangan dan pelestarian kultur Jawa. Pada masa itu gelar raja, yaitu Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama, benar-benar memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi sehingga raja dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan, di luar kekuatan dan kekuasaan manusia biasa.
Namun setelah kolonial mulai menguasai tanah Jawa, sedikit demi sedikit pengaruh yang dibawanya pun mulai mengikis sendi-sendi yang dimiliki Keraton Surakarta. Dimulai dengan sedikit demi sedikit meminta tanah-tanah yang dimiliki Keraton, terutama daerah pesisir atau mancanegara, yang jauh dari inti Keraton, lalu politik adu domba yang memecah belah kekuasaan hingga akhirnya Keraton Surakarta terbagi menjadi empat yaitu Keraton Kasunanan Surakarta (Keraton yang dikenal sebagai Keraton Surakarta), Keraton Kasultanan Yogyakarta, Keraton Mangkunegaran Surakarta, serta Keraton Pakualaman Yogyakarta. Kemudian tipu daya yang dilakukan pihak kolonial yang terkesan membodohi pihak Keraton Surakarta sehingga Keraton Surakarta pada akhirnya menjadi boneka kolonial.
Pun tidak berhenti sampai saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Setelah Keraton Surakarta menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedikit demi sedikit metafisika yang dibawa pada saat awal pembangunan, perlahan mulai luntur. Predikat swapraja atau Daerah Istimewa Surakarta dicabut setelah melalui pergantian gubernur. Di samping itu, posisi sentral Keraton Surakarta pun mulai bias dengan adanya pemerintahan kota.
Perjalalanan sejarah Keraton Surakarta khususnya setelah pindah lokasi ke posisinya sekarang, hingga bergabung dengan NKRI, menunjukkan bahwa Keraton Surakarta sejatinya nyaris tak pernah berdiri sendiri. Sebelum Indonesia merdeka, Keraton Surakarta telah menjadi boneka bagi kolonial. Dengan berbagai strategi politiknya, kolonial telah menguasai sebagian besar asset Keraton Surakarta. Dan pihak Keraton terlalu ikhlas untuk menerima semua perlakuan tersebut tanpa banyak perlawanan, terkecuali pada saat pemerintahan Pakubuwono VI. Namun perlawanan tersebut pun meminta pengorbanan dengan diasingkannya Pakubuwono VI ke Ambon.
Kini setelah merdeka, Keraton pun tidak memiliki otoritas pemerintahan sendiri. Keraton menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai bagian dari negara, Keraton justru terlihat sangat semakin kehilangan kewibawaannya. Kompleks Keraton Surakarta kini telah dibagi-bagi ke dalam empat bagian yang masuk ke dalam bagian dari empat kelurahan di Surakarta. Pembagian Keraton menjadi empat bagian ini bukankah tidak lain semakin memecah tubuh Keraton Surakarta yang tanah-tanah kekuasaaannya telah dipecah-pecah saat kolonial masih berkuasa.
Jika negara memiliki alasan untuk mengurangi beban anggaran pembiayaan perawatan keraton, seperti kebersihan lingkungan dan pengecatan tembok benteng, sejauh hal tersebut dapat direalisasikan, tentunya tidak menjadi masalah. Namun, fakta yang berada di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Kompleks Keraton Surakarta saat ini terlihat sangat kumuh dan terpuruk tidak terawat. Ruang-ruang yang kini dijadikan ruang publik masyarakat Surakarta seperti Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan pun seperti tertelantarkan. Keraton rasanya benar-benar telah kehilangan kewibawaannya.
Kesadaran negara yang telah mengambil alih penanganan bagian-bagian kompleks Keraton Surakarta belum menunjukkan konsekuensi atas putusan yang telah diambil pada masa lalu. Ditambah dengan sikap Keraton Surakarta yang terkesan pasrah atas status yang diembannya, memperlihatkan Keraton Surakarta telah gagal mempertahankan eksistensinya. Keraton Surakarta yang dahulu kala merupakan penguasa tanah Jawa, kini terkesan telah kalah dilibas oleh tata aturan pemerintah.
Keraton saat ini juga lebih dikesankan sebagai cagar budaya yang merupakan asset pariwisata yang menunjang aspek komersialisme. Keraton Surakarta di masa kini telah menjadi cagar budaya yang harus dilestarikan. Tetapi apakah benar hal tersebut sesuai dengan tujuan undang-undang dan keputusan presiden yang pernah dikeluarkan? Jika kemudian Keraton yang menjadi asset pariwisata telah didominasi berbagai kepentingan kapitalisme dan komersialisme. Jadi bukannya Keraton Surakarta yang dominasi menunjang aspek komersial, tetapi justru tubuh baru yang tumbuh di bagian tubuh tersebut, baik dalam skala kecil maupun skala besar; pedagang kaki lima, maupun pengusaha pusat perbelanjaan.
Kalangan pengusaha kelas atas memanfaatkan lahan di dekat Gapura Gladag dengan membangun pusat-pusat perbelanjaan modern, sedangkan rakyat biasa memanfaatkan hampir setiap sudut kompleks Keraton yang memiliki lokasi strategis. Lihat saja, mulai dari area Gapura Gladag hingga Gapura Pamurakan terkadang dapat dijumpai pedagang kaki lima. Kemudian berbelok ke kanan terdapat kios-kios buku bekas. Berbelok ke kiri terdapat kios-kios batu akik, kaca mata, dan berbagai macam kios di sekeliling alun-alun utara. Sedangkan di Alun-Alun Selatan yang dalam filosofinya identik dengan tanah yang kosong dan hampa, kini telah menjadi sangat kontras karena setiap sore dapat dijumpai keramaian pasar kaget. Dan di Alun-Alun Selatan tersebut, keberadaan kerbau bule milik Keraton Surakarta, menjadi unsur magnet komersial juga meski dengan mirisnya ditempatkan di area Sitihinggil Selatan.
Kemegahan skyline Keraton Surakarta kini telah pudar dilibas ketinggian bangunan pusat perbelanjaan. Demikian pula dengan bangsal-bangsal yang terdapat di sekeliling alun-alun utara. Bangsal-bangsal tersebut jika diamati memang masih ada, namun kondisinya tidak terawat dan tertutup dengan gelaran kios para pedagang.
Tidak hanya secara fisik kapitalisme dan komersialisme yang terjadi, bahkan secara non fisik pun mudah dijumpai yang mana hal tersebut pernah sangat mengecewakan raja. Kapitalisme dan komersialisme di lingkungan Keraton Surakarta yang bertalian secara langsung dengan unsur non fisik dimulai dengan pemungutan pembayaran pada perayaan sekaten dan penggunaan area Keraton sebagai lahan parkir.
Kontras sekali dengan keadaan ekonomi di dalam Keraton Surakarta. Raja yang tidak dapat lagi memungut pajak, dihadapkan pada kewajiban besar yaitu menjamin kesejahteraan para abdi dalem yang entah meskipun digaji sangat kecil, kesetiaan mereka masih utuh. Para abdi dalem masih begitu menghargai junjungannya, masih menganggap bahwa Keraton membawa berkah dan keberuntungan bagi kehidupan mereka. Di samping itu, raja juga masih menanggung keterjagaan dan perawatan arsitektur keraton, namun bahkan hal yang dalam taraf kecil pun masih luput, sepeti pengecatan tembok beteng atau perbaikan jaringan listrik. Yang tidak kalah penting adalah terkait dengan kedudukan Keraton Surakarta saat ini yaitu sebagai pusat dan pengayom budaya Jawa. Keraton harus menjaga eksistensi budaya dan ritual yang sudah turun temurun dilakukan di Keraton Surakarta pada event-event tertentu. Sedikitnya subsidi dana dari pemerintah menambah lengkap sudahlah nasib keterpurukan Keraton Surakarta yang telah diterjang realitas globalisasi dan modernisasi.
Mungkin tidak banyak lagi yang peduli dengan hal tersebut, setelah globalisasi menyerang bangsa ini, dan mempengaruhi kehidupan dan budaya manusia Jawa. Budaya ketimuran manusia Jawa yang dikenal sebagai masyarakat arkhais, kini telah banyak ditinggalkan. Generasi muda mayoritas telah memalingkan muka dari budaya ketimuran dan menyambut trend yang berasal dari dunia barat. Memang tidak salah jika dikatakan budaya barat banyak membawa keuntungan bagi bangsa ini. Sebagian besar teknologi maju pun berasal dari dunia itu yang memang menjunjung tinggi realisme. Namun bukankah akar budaya manusia Jawa juga memiliki cirri khas tersendiri, yang menjadi karakter unik masyarakat timur.
Dilihat dari segi pola tata ruang, Keraton Surakarta masih dapat dikatakan dalam kondisi baik dan masih terjaga. Pola tata ruang tersebut setidaknya masih mewakili sedikit aspek metafisika Keraton Surakarta. Pola tata ruang Keraton Surakarta dari Gapura Gladhag sampai dengan Gapura Gading merupakan simbolisasi perjalanan kehidupan manusia dari lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga akhirnya menghadap kepada Sang Maha Kuasa. Simbolisasi ini jika dimaknai lebih lanjut merupakan ajaran tentang pandangan dan sikap hidup manusia Jawa. Hal ini hanyalah salah satu dari simbol-simbol lain yang diaplikasikan dalam fisik arsitektur Keraton Surakarta. Banyaknya simbol tersebut sesuai dengan prinsip dan karakter hidup manusia Jawa yang banyak menggunakan simbol dalam arsitektur bangunannya. Simbolisasi ini merupakan metafisika yang masuk dalam kerangka wacana batin ini, memang sulit jika dimaknai secara rasional seperti halnya falsafah yang dianut bangsa barat. Aspek-aspek ketimuran sering dianggap mistis karena gagasan pemikirannya banyak yang sulit dipahami, diterima akal dan diterapkan dalam praktik sosial-budaya.
Kini, Keraton Surakarta seakan telah menjadi sesuatu yang patut dimuseumkan. Banyak hal yang telah banyak membuat miris saat mendengar perjalanan nasibnya. Keraton sekarang tak ubahnya rumah biasa, hanya saja struktur ruang dan arsitekturalnya serta penghuninya yang luar biasa. Namun status, kedudukan, serta kewibawaan Keraton Surakarta beserta raja telah jatuh, atau bahkan malah telah hilang.
Raja tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan tetapi hanya sebagai pengayom kebudayaan Jawa setelah wilayah kepemerintahannya diambil oleh negara yang dalam hal ini diserahkan kepada Pemerintah Kota Surakarta. Bukankah hal itu seakan berbalik 180 derajat jika dahulu kala Raja Keraton Surakarta memiliki tanah kekuasaan yang sangat luas, sedangkan saat ini wilayah kekuasaannya hanyalah Keraton Inti. Bahkan dalam praktiknya Keraton tersebut bukan lagi dalam kekuasaan raja karena sebagian masih ada pemungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Dengan ikhlas raja telah menerima nasibnya seperti halnya falsafah yang dianut turun temurun di dalam keraton: nut kelakone jaman. Kini raja memiliki kekuatan baru yang masih diakui oleh masyarakat pendukungnya yaitu sebagai sentral pelestarian dan pengembangan budaya Jawa serta sebagai pihak yang netral dalam dunia perpolitikan dengan menjadi seorang peacemaker.
Hilangnya kedudukan Keraton Surakarta sebagai pusat pemerintahan atau pusat perpolitikan ternyata tidak menghilangkan posisi sentral Keraton Surakarta sebagai pusat budaya Jawa yang bertugas menjaga dan mengemban kebudayaan Jawa. Peluang tersebut dapat menambah eksistensi Keraton Surakarta yang dapat memainkan aspek budaya secara kreatif sebagai simbol pengabdian kepada masyarakat Surakarta.
Hal tersebut telah dikembangkan oleh GRAy Koes Murtiyah, adik Pakubuwono XIII, yang mendirikan Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta Hadiningrat. Kegiatan yang diselenggarakan antara lain pendidikan dan pagelaran tari, karawitan, pedalangan dan pambiwara, keagamaan, keprajuritan, rekso pusaka, batik dan kepustakaan; telah menjadi cikal bakal pengembangan Keraton Surakarta sebagai afinitas kutural masyarakat Surakarta. Embrio tersebut jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin Keraton Surakarta akan kembali eksis sebagai sentral di tengah-tengah masyarakat Surakarta meskipun tidak lagi dalam lingkup politik kepemerintahan, namun budaya Jawa.
Selain itu status priyayi yang disandang oleh komunitas Keraton membuat orang bersangkutan menjadi tepandang dan dihormati. Keraton kemudian menjadi rujukan orang-orang penting seperti pejabat, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan pengusaha, untuk berkunjung dengan berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain membahas persoalan bangsa, meminta doa restu, dan menerima gelar kehormatan.
Terkait pembahasan persoalan bangsa, Keraton masih dianggap sebagai sumber kearifan, selain karena raja berkedudukan sebagai pengayom masyarakat dan keberhasilannya memainkan peran sebagai peacemaker. Sedangkan dalam kepentingan meminta doa restu, telah masuk unsur kepentingan politik meskipun tidak secara langsung. Umumnya para pejabat dan tokoh politik akan berkunjung ke Keraton pada saat akan menjelang pemilihan umum (pemilu). Saat raja memberikan restu, maka rakyat sepantasnya mendukung.
Sedangkan terkait untuk kunjungan untuk menerima gelar kehormatan, dalam faktanya menumbuhkan satu keganjilan saat Keraton Surakarta secara berkala memberikan gelar kebangsawanan kepada orang-orang di luar komunitas Keraton Surakarta, yaitu orang-orang non bangsawan. Dari tahun ke tahun, keroyalan pihak Keraton Surakarta dalam memberikan gelar semakin meningkat. Bahkan kriteria gelar yang oleh Nurcholis Madjid disebutkan ada tiga yaitu kualitas pribadi, kapabilitas intelektual, dan kerja nyata bagi kemajuan masyarakat terlihat tidak lagi diperhatikan.
Hal tersebut setidaknya telah tampak pada pemberian gelar kebangsawanan kepada Manohara Odelia Pinot dan Robby Sumampow. Kasus pemberian gelar kepada Manohara, telah menimbulkan perbedaan persepsi. Keraton berharap dengan memberikan gelar tersebut saat ia sedang menghadapi masalah dengan mantan suaminya dari Kerajaan Kelantan Malaysia, Manohara dapat memiliki tanggung jawab lahir dan batin, menjadi suri teladan nilai budaya, termasuk menyelesaikan masalahnya dengan cara yang terhormat. Namun pihak Manohara sendiri beranggapan bahwa pemberian gelar tersebut atas dasar perjuangan hidupnya yang gigih dan tak kenal lelah. Manohara juga mengatakan bahwa di Malaysia, ia mendapatkan gelar Cik Puan Tumenggung. Jadi ia ingin menunjukkan bahwa tidak hanya Malaysia yang dapat memberikan gelar, Indonesia pun bisa.
Sedangkan kasus pemberian gelar kehormatan kepada Robby Sumampow, seorang pengusaha tempat hiburan modern, menunjukkan ketidakberdayaan Keraton dalam menghadapi tantangan ekonomi. Pemberian gelar kepada Robby itu dianggap tidak memiliki relevansi sama sekali terhadap unsur budaya. Apalagi pemberian gelarnya dilakukan tidak dalam upacara Jumenengan, tetapi di panggung hiburan. Rupanya raja telah bertekuk lutut hingga status kebangsawanannya seakan sudah tidak berarti apa-apa lagi.
Apabila pemberian gelar kehormatan ini telah menjadi benda ekonomi yang memiliki nilai jual tinggi, mungkin tidak mengherankan apabila raja pun rela mengorbankan gelar kebangsawanannya sendiri. Mengingat kebutuhan ekonomi Keraton yang banyak, sedangkan subsisi dari negara sedikit. Adapun komersialisme dan kapitalisme yang terjadi di lingkungan Keraton Surakarta tidak menyuplai dana terhadap kebutuhan ekonomi Keraton sendiri.
Kini Keraton Surakarta sering hanya dipandang sebagai cagar budaya dan simbol kejayaan feodalisme yang telah mati. Pandangan yang berawal dari gerakan intelektual kelompok pemuda didikan Jepang ini kemudian memunculkan Gerakan Anti Swapraja. Gerakan ini beranggapan bahwa menjadikan Keraton Surakarta sebagai daerah istimewa (swapraja) hanyalah akan memberikan raja berikut Keraton Surakarta kekuasaan politik dan wilayah, yang mana itu berarti pula menghidupkan kembali semangat feodalisme.
Sejarah yang telah terjadi ini mungkin memang tidak bisa disalahkan. Tetapi ketika melihat, mendengar, dan membaca pro-kontra penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta berikut kedudukan Sultan saat ini sebagai gubernur, bukankah pengalaman sejarah yang pernah dimiliki Keraton Surakarta ini bisa dijadikan tolok ukur?
Bukan dengan maksud menghidupkan kembali semangat feodalisme yang dianggap tidak sejalan dengan genta demokrasi saat ini. Toh masyarakat Yogyakarta pun tidak pernah berontak dengan kepemimpinan Sultan. Aset-aset budaya masih terjaga dengan baik tanpa meninggalkan sisi kepariwisataannya. Tetapi memang jika Surakarta kemudian dikembalikan lagi sebagai daerah swapraja dengan kekuasaan kembali ke raja Surakarta, akan seperti membalikkan kembali roda sejarah yang telah berputar, dan itu akan sulit direalisasikan.
Jadi ada baiknya negara mempelajari kembali sejarah perjalanan Surakarta, khususnya Keraton Surakarta. Setidaknya kewibawaan raja tidak dijatuhkan seperti saat ini. Jika Keraton memang merupakan asset pariwisata, setidaknya kondisinya akan lebih terawat sehingga eksistensi Keraton Surakarta pada khususnya, dan eksistensi kota Surakarta bahkan Indonesia dapat meningkat. Bukankah asset pariwisata juga merupakan sarana promosi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan negara? Tetapi jika dalam kondisi yang sekarang, sepertinya tidak layak untuk dipromosikan.
Keraton Surakarta yang dikatakan telah kehilangan statusnya sebagai penguasa tanah Jawa setelah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keraton Surakarta bahkan juga dikatakan telah kehilangan hampir segalanya. Sebagai bagian dari NKRI tentunya sudah mutlak untuk mengikuti tata aturan yang telah diatur negara. Tata aturan tersebut justru menjadikan Keraton Surakarta lebih terkekang dan hanya dijadikan asset pariwisata dengan bungkus komersialisme. Dalam hal tersebut, maka tentunya negara juga dapat dikatakan telah kehilangan jati dirinya.
No comments:
Post a Comment