--> DOCUMENT MASNET QUR'AN

Kejawen



Dalam konteks mitologi kejawen, ada beberapa kegiatan ritual yang sangat dipegang sebagai kegiatan sakral, antara lain :

1. satu suro/1 muharram

Satu suro merupakan hari dan bulan keramat dan sakral dalam pandangan Kejawen, sebagaimana seremoni atau perayaan suran. Menurut sejarah jawa dimulai pada tanggal 1 suro 1925 yang terdapat makna didalamnya, yaitu hari yang 7 jumlahnya (saptawara), berangkapan pasaran yang berjumlah 5 (pancawara), mangsa (pranatamangsa) yang beerjumlah 12 wuku yang berjumlah 30, peringkelan yang berjumlah 6 (sadwera), tahun yang berjumlah 8, dan windu yang berjumlah 4. Perangkapan hitugan atau pitungan ini merupakan warisan ngelmu dalam kosmologi jawa yang selalu dikaitkan dengan berbagai kegiatan kehidupan dalam wujud laku yang bernilai keprihatinan.

Ritual ini selalu diselenggarakan dikeraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran. Masyarakat berjalan berbondong-bondong mengelilingi pusaka keraton yang dianggap Ampuh dan mampu menolak malapetaka. Di daerah gunung Serandil Cilacap, yang terletak ditepi laut selatan, dibangun gedung palereman dan pamujaan, begitu pula di padepokan Jambe Pitu gunung Serandil kebanyakan masyarkat mempercayai ramalan seorang medium yang katanya kerasukan Ki Lengkung Kusumo (petruk) tentng peristiwa keadaan tahun yang akan datang.

Kegiatan ritual masyarakat Kejawen pada umumnya menelenggarakan selametan suro dengan acara sajian bubur dengan lauk pauk tertentu atau jenang manggul disertai dengan bunga setaman dan kepulam kemenyan, kegiatan mencuci pusaka wesi aji yang disebut siraman (kepercayaan sebagian masyarakat, mereka datang dan mengambil berkah lewat cucian air pusaka dengan cara mencuci muka dan bahkan ada yang meminumnya), dan kegiatan berpuasa Suro yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan 10 atau 9 dan 10 suro.

2. Nyadran

Nyadran berarti melaksanakan upacara “sadran” atau sadranan. Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (jawa) atau sya’ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan, antara lain :

a) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa.

b) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan.

c) Beriarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih).

3. Ritual selamatan lingkaran hidup seperti hamil 7 bulan, kelahiran, kematian, dan lain-lainnya. Kebanyakan masyarakat Jawa melaksanakan upacara peringatan 7 bulan kehamilan (mitoni), sesuai tradisi yang ada, yaitu yamng hamil menual rujak dengan batu kecil (kerikil), disamping itu dengan bancaan mengundang anak-anak kecil untuk makan ambeng pada nampan. Selain itu uga mengundang tetangga untuk acara do’a bersama dengan upacara tahlilan.

4. Ritual selamatan berkaitan dengan bersih (rikat) desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pad abulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do’a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen, ruwatan merupakan acara pembebasan anak atau orang yang kelahirannya di anggap tidak menguntungkan atau ada marabahaya dari Batharakala.

5. Rituial selamatan berkaitan dengan tanah pertanian, baik pemggarapan atau saat panen.

6. Ritual berkaitan dengan menolak marabahaya, seperti ngruwat, sedekah bumi dan lain-lainnya.

Laku : Sembahyang dan Olah Rasa

Laku, sembahyang dan olah rasa merupakan kegiatan peribadatan kebatina yang penting dalam perjalanan hidup dan merupakan cara untuk mencapai puncak peningkatan kekuatan spiritualitas Kejawen, yaitu menuu manunggaling kawulo gusti. Yang ditempuh dalam laku ini adalah kesatuan jiwa dan raga manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jiwa manusia merupakan rasa yang dapat merasakan kedekatan dan bahkan menyatu dengan gusti Yang Maha Kuasa.

Rasa adalah tolok ukur pragmatis dari segala mistik orang jawa atau Kejawen. Rasa yang membawa keadaan dirinya menjadi puas, tenang, tentram Batin (tentrem ing manah), dan ketiadaan ketegangan. Karena merupkan respon kejiwaan yang diterima oleh indera atau bagian tubuh dari suatu objek tertentu, rasa dapat juga dipandang sebagai unsur psikologis manusia pada ranah efektif yang digunakn untuk menangkap kebenaran-kebenaran batiniyah.

Kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui laku dan rasa harus didasarkan pada ngelmu untuk menuju kesempurnaan yang hakiki, menurut mulder, pemikiran mistis jawa, paling tidak yang dikenal dengan namaa ngelmu kesempurnaan (ilmu kesempurnaan), adalah jalan menuu kesatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Ngelmu dalam terminologi kejawen menggunakan kata pengawikan jawi, hakekatmya, bukan sekedar pengetahuan, melainkan mengandung kebijaksanaan. Olah pikir dan Asah budi para pemikir Jawa senantiasa memakai slogan yang didambakannya aitu mamayu hayuning saliro, mamayu hauning bangsa, mamayu hayuning bawana (memelihara kesejahteran diri, memelihara kesejahteraan bangsa, memelihara kesejahteraan dunia). Konsep ngelmu tersebut adalah sangat jelas dipengaruhi oloeh konsep-konsep islam, yaitu mulai dari persoalan kosmologi sampai dengan Adab suami isteri, sebagaimana dalam buku-buku Kejawen Betal jemur atau adam ma’na yyang dipengaruhi oleh kitab mujarobat.

Disamping kegiatan laku dan olah rasa, sembahyang juga sangat urgen dalam pandangan Kejawen meskipun kata sembahyang dalam terminologi Jawa kuno tidak ada; yang ada adalah kata sembah dan hyang. Sembah berarti menghormati, tunduk; sedangkan hyang berarti dewa atau dewata. Dengan demikian., kesatuan istilah tersebut menjadi sembahyang yang berarti penyembahan kepada dewa atau Tuhan menurut aliran kepercayan Pangestu, konsep sembahyang atau ritual ada 2 cara, yaitu ritual kelompok (bawa raos) dan ritual perorangan (panembah dan pangesti).

Tata cara ritual bawa raos meliputi : pangesti pembuka (mohon tuntunan), bawa raos (ceramah), pengungkapan pengalaman –pengalaman dalam penyiswan, pangesti penutup (mohon kesejahteraan), lagu Dandang Gula (eling-eling). Ritual perorangan panembah adalah semacam sembahyang wajib seperti shalat dalam agama islam. Pelaksanaan waktunya sesuai dengan jenjang kesiswaannya, sedangkan pangestia adalah do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan kapan saja.

Kegiatan laku dan sembahyang dalam pandangan kebatinan atau Kejawen merupakan cara atau jalan untuk memperdalam olah rasa dalam pencapaian kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Gusti Allah, atau dengan kata lain menuju kesatuan manunggaling kawula gusti.

Rumusan Rekayasa Sosio Kultural dalam Dakwah

Berangkat dari uraian diatas, sistem kepercayan yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa pada umumnya adalah Hindu dan Budha sebagai Mainstream keagamaannya. Selanjutnya terjadilah sinkritisme ketika kerajaan-kerajaan atau bahkan di kedua keraton baik Yogyakarta, Surakarta, maupun Mangkunegara yang notabenenya merupakan pusat Kejawen beragama Hindu dan Budha, kemudian dalam proses perkembangan pergantian kekuasaan dikeraton pada saat yang bersamaan teradilah elaborasi Islam kedalam keluarga istana, hanya saa Islamisasi dilakukan secara evolusioner dan tanpa terjadi ketegangan ketika pertemuan antara kedua simbol dan ritus tersebut.

Simbol-simbol dan ritus-ritus yang esensinya adalh laku, sembahyang dan olah rasa merupakan dasar atau inti Kejawen dalam pencapaian kesempurnaan hidup tertinggi. Berbagai ritus yang telah mendarah daging di masyarakat kejawen hingga dewasa ini masih sangat kental dan banyak pengikutnya khususnya di pulau Jawa. Ada dua pendekatan dalam mengkai sinkritisme di Jawa, yaitu pertama, melihat pengaruh Ekologi lingkungan fisik terhadap cara masyarakat mengorganisasi dirinya.pendekatan ke dua,adalah bagaimana sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol,dan bagimana sistem simbol mempengaruhi sistem-sistem sosio kultural.

Sistem sosio kultural masyarakat selalu berubah sesuai dengan perkembangan tingkat pendidikan,status ekonomi,dan berbagai pengaruh IPTEK masyarakat itu sendiri. Berangkat dari perubahan inilah dakwah Islam dapat mengmbil peluang (opportunity) dengan memperkenalkan sistem nilai dalam islam. Sistem nilai dalam Islam adalah konsep tauhid. Dari konteks tauhid inilah manusia diciptakan oleh Tuhan dan kembali kepadaNya, konsep tersebut dalam kosmologi Kejawen terkenal dengan sangkan paraning dumadhi.

Seiring dengan adanya perubahan sosio kultural masyarakat, para Aktivis dakwah Islam harus mampu secara komprehensif melakukan rekayasa sosial (social engenering) dengan mengimplementasikan rumusan Allah SWT, yaitu Amar makruf, nahi munkar dan tu’kminubillah; mengajak kepada kebajikan, mencegah kemunkaran, dan mengajak untuk beriman kepada Allah SWT. Dalam kedua rumusan tersebut terlihat adanya proses saling berkait yang sekaligus berlawanan, tapi merupakan satu kesatuan, yaitu emansipasi dan penbebasan.

Emansipasi (amar makruf) atau bertindak kebajikan merupakan seruan kemanusiaan oleh setiap manusia, maka dalam konteks dakwah di kalangan Kejawen diperlukan partisipasi dan dialektika intensif dengan menggunakan bahasa atau pun cara berpikir mereka, sebagaimana contoh kasus nyadran, yang hingga kini masih ada dan tentunya sudah mengalami pergeseran kepada nuansa keislaman, yaitu dengan kegiatan thlilan dan semua jamuan mkanan diniatkan sebagai shadaqah. Pergeseran ini terjadi di daerah yang dekat dengan perkotaan. Meskipun di pusat-pusat kejawen belum tampak berubah dan masih kehtal dengan nuansa animistik.

Pembebasan atau upaya mencegah kemungkaran (kejahatan) merupakan usaha pengorbanan setiap manusia dalam mengangkat harkat dan martabat di tengah-tengah masyarakat. Bentuk-bentuk pengorbanan ini misalnya mengangkat atau membantu orang keluar dari kebodohan, ketertindasan, kemusyrikan, dan segala yang dapat menghancurkan kesempurnaan hidup manusia. Dalam konteks dakwah di kalangan Kejawen ini, yamg dapat dilakukan oleh para aktivis dakwah adalah mengadakan disksi-diskusi bersama tentang pentingnya kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, kajian bersama tentang ketuhanan dan filsafat kehidupan.

Pembebasan dalam kerangka filsafat kehidupan dimasa lalu dapat dijadikan sebagai ekspresi-ekspresi ritual, sehingga nilai keislaman berpengaruh sangat kuat. Sebagai contoh acara ritual pangiwaahan. Upacara ini bertujuan agar manusia menjadi wiwoho atau mulia. Dengan demikian setiap manusia harus memuliakan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Konsep pangiwahan tersebut menjadi kegiatan ritual yang berkaitan dengan kemuliaan hidup manusia. Hal ini berarti esensi ritual ini sudah dipengaruhi oleh nilai dan ajaran islam

sumber: darunnajah.wordpress.com

No comments:

Post a Comment